Kiat Mencari Berkah Bagian Ke 8

Kiat menggapai keberkahan: Qana'ah dengan karunia Allah

Sifat qana'ah dan lapang dada dengan pembagian Allah subhanahu wa ta'ala adalah kekayaan yang tidak ada bandingnya. Dahulu orang berkata,

إذا كنْتَ ذا قَلْبٍ قَنُوعٍ، فَأَنْتَ وَصَاحِبُ الدُّنْيَا سَوَاء

"Bila engkau memiliki hati yang qana'ah, maka engkau dan pemilik dunia (kaya raya) adalah sama."

القناعة كنْزٌ لا يفنى

"Qana'ah adalah harta karun yang tidak akan pernah sirna."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan keadaan orang yang dikaruniai sifat qana'ah dengan sabdanya,

(مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِناً فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَومِهِ ؛ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا (رواه الترمذي وابن ماجة والطبراني وابن حبان والبيهقي.

"Barangsiapa dari kalian yang merasa aman di rumahnya, sehat badannya dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan untuknya dunia beserta isinya." (HR. at-Tirmidzy, Ibnu Majah, ath-Thabrany, Ibnu Hibban dan al-Baihaqy).

Al-Munawi rahimahullah berkata, "Maksud hadits ini, barangsiapa yang terkumpul padanya kesehatan badan, jiwanya merasa aman kemanapun ia pergi, kebutuhan hari tersebut tercukupi dan keluarganya dalam keadaan selamat, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya seluruh jenis kenikmatan, yang siapapun berhasil menguasai dunia tidaklah akan mendapatkan kecuali hal tersebut." (Faidhul Qadir oleh al-Munawi, 9/387).

Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qana'ah dan keridhaan dengan segala rezeki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan dianugerahkan kepadanya,

إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يبتلي عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله عز وجل له بَارَكَ الله له فيه وَوَسَّعَهُ وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ له ولم يزده على ما كتب له
.رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني

"Sesungguhnya Allah yang Mahaluas Karunia-nya lagi Mahatinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rezeki yang telah Ia berikan kepadanya. Barang siapa yang ridha dengan pembagian Allah subhanahu wa ta'ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rezeki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rezekinya tidak akan diberkahi." (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albany).

Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menyebutkan, "Bahwa penyakit ini, (yaitu: tidak puas dengan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya-pen.) telah banyak didapatkan pada pemuja dunia, sehingga engkau dapatkan salah seorang dari mereka meremehkan rezeki yang telah dikaruniakan untuknya, merasa hartanya itu sedikit, buruk, serta mengagumi rezeki orang lain dan menggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karenanya, ia akan senantiasa banting tulang untuk menambah hartanya, hingga akhirnya habislah umurnya, sirnalah kekuatannya, dan iapun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang tergapai dan rasa letih. Dengan itu ia telah menyiksa tubuhnya, mengelamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidaklah akan memperoleh selain apa yang telah Allah tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya ia meninggal dunia dalam keadaan pailit, ia tidak mensyukuri apa yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan." (Faidhul Qadir oleh al-Munawi, 2/236).

Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan agama dan dirinya dalam setiap usaha yang ia tempuh guna mencari rezeki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh melainkan jalan-jalan yang dihalalkan dan dengan tetap menjaga kehormatan dirinya.

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه قال: سألت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم قال: يا حكيم، إن هذا المال خضرة حلوة، فمن أخذه بسخاوة نفس، بورك له فيه، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك له فيه، وكالذي يأكل ولا يشبع. اليد العليا خير من اليد السفلى، قال حكيم: فقلت يا رسول الله، والذي بعثك بالحق لا أرزأ أحدا بعدك شيئا حتى أفارق الدنيا. متفق عليه

Dari sahabat Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu, ia mengisahkan, "Pada suatu saat, aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah ishallallahu 'alaihi wa sallam dan beliaupun memberiku, kemudian aku kembali meminta kepadanya dan beliau kembali memberiku, kemudian aku kembali meminta kepadanya dan beliaupun  kembali memberiku, kemudian beliau bersabda, 'Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini bak buah yang segar lagi manis, dan barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (dan tamak atau atas kerelaan pemiliknya), maka akan diberkahi untuknya harta tersebut. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan penuh rasa ambisi (tamak), niscaya harta tersebut tidak akan diberkahi untuknya dan ia bagaikan orang yang makan dan tidak pernah merasa  kenyang. Tangan yang berada di atas lebih mulia dibanding tangan yang berada di bawah.' Hakim melanjutkan kisahnya dengan berkata, 'Kemudian aku berkata, 'Wahai Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak akan meminta harta seseorang sepeninggalmu hingga aku meninggal dunia.'" (HR. Muttafaqun 'alaih).

Hadits ini menunjukkan, bahwa sifat qana'ah, memeras keringat sendiri untuk memenuhi kebutuhan, serta menempuh jalan yang baik ketika mencari rezeki akan senantiasa diiringi dengan keberkahan. Dan bahwa orang yang mencari harta kekayaan dengan ambisi dan keserakahan, sehingga ia tidak mengumpulkan dengan cara-cara yang dibenarkan, niscaya harta kekayaannya tidak akan pernah diberkahi, bahkan akan dihukumi dengan dihalangi dirinya dari kemanfaatan harta yang telah ia kumpulkan (Syarah Shahih Bukhari oleh Ibnu Batthal, 3/48).

Pada hadits lain, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan contoh nyata bagi pekerjaan yang terhormat dan tidak merendahkan martabat diri pelakunya,

وَالَّذِي نَفْسِي بيده لَأَنْ يَأْخُذَ أحدكم حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ على ظَهْرِهِ خَيْرٌ له من أَنْ يَأْتِيَ رَجُلا فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أو مَنَعَهُ

"Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kamu membawa talinya, kemudian ia mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggunya, lebih baik baginya daripada ia mendatangi orang lain, kemudian meminta-minta kepadanya, baik ia diberi atau tidak." (HR. Bukhary).

Pada hadits lain, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan wujud lain dari penjagaan terhadap kehormatan diri dan agama seseorang ketika bekerja, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

(مَنْ طَلَبَ حَقّاً فَلْيَطْلُبْهُ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرَ وَافٍ (رواه الترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم

"Barangsiapa yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau tidak."  (HR. at-Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

Di antara metode yang diajarkan oleh Islam kepada umatnya agar usahanya diberkahi Allah subhanahu wa ta'ala dan mendatangkan keberhasilan ialah dengan menggunakan modal yang diperoleh dari jalan yang baik, serta diperoleh tanpa ambisi dan keserakahan,

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم كان يُعْطِي عُمَرَ بن الْخَطَّابِ رضي الله عنه الْعَطَاءَ فيقول له عُمَرُ: أَعْطِهِ يا رَسُولَ اللَّهِ أَفْقَرَ إليه مِنِّي. فقال له رسول اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم : خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ أو تَصَدَّقْ بِهِ، وما جَاءَكَ من هذا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ ولا سَائِلٍ، فَخُذْهُ وما لا فلا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. قال سَالِمٌ: فَمِنْ أَجْلِ ذلك كان بن عُمَرَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شيئا ولا يَرُدُّ شيئا أُعْطِيَهُ. متفق عليه

"Dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu hari hendak memberi Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu suatu pemberian, kemudaian Umar berkata kepada beliau, 'Ya Rasulullah, berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkannya daripada aku.' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Ambillah, lalu gunakanlah sebagai modal atau sedekahkanlah, dan harta yang datang kepadamu sedangkan engkau tidak berambisi mendapatkannya tidak juga memintanya, maka ambillah, dan harta yang tidak datang kepadamu, maka janganlah engkau berambisi untuk memperolehnya." Oleh karena itu, dahulu Abdullah bin Umar tidak pernah meminta kepada seseorang dan tidak pernah menolak sesuatu yang diberikan kepadanya." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Pemaparan di atas adalah sedikit bukti bakwa sifat qana'ah adalah sumber kebahagiaan hidup di dunia. Tidak mengherankan bila banyak ulama, di antaranya sahabat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Ikrimah (baca Tafsir ath-Thabary, 14/171 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/586) menyatakan bahwa “kehidupan yang baik/bahagia" yang dimaksud pada ayat 97 surat an-Nahl(1) adalah sifat qana'ah. Yang demikian itu, karena dengan sifat qana'ah, seseorang akan senantiasa merasa puas dan kecukupan dengan apa yang telah Allah subhanahu wa ta'ala karuniakan kepadanya.

Dahulu sebagian orang berkata,

أطول الناس همّاً الحسودُ وَأَهْنَؤُهم عَيْشاً القَنُوعُ

"Orang yang paling banyak dirundung rasa gundah adalah orang yang paling besar rasa hasadnya, dan orang yang paling bahagia kehidupannya adalah orang yang paling besar rasa qana'ah-nya." (Majmu' Rasa'il Ibnu Rajab, 1/67).

Betapa tidak, sifat tamak dan serakah manusia tidak akan pernah padam, walaupun ia telah dikaruniai segala macam kekayaan dan keberhasilan. Bila seseorang senantiasa menuruti ambisi dan keserakahannya, niscaya ia tidak akan pernah merasakan kedamaian dan kepuasan hidup. Terlebih-lebih, bila ambisinya tersebut sampai menjadikannya menempuh segala macam cara untuk meraih harta impiannya. Rasa tamak dan serakah yang ada dalam dada manusia hanya akan padam bila hayat telah terpisah dari badan.

(لو كان لابن آدَمَ وَادِيَانِ من مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا ولا يَمْلَأُ جَوْفَ بن آدَمَ إلا التُّرَابُ وَيَتُوبُ الله على من تَابَ (متفق عليه

"Andai seorang manusia telah memiliki dua lembah harta benda (emas), niscaya ia masih menginginkan untuk mendapatkan lembah ketiga. Dan tidak akan pernah ada yang dapat memenuhi perut manusia selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat/kembali (dari perangai buruk tersebut-pen.) ." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Sebagian ulama menyatakan, bahwa maksud dari sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam “Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat/kembali (dari perangai buruk tersebut-pen.)" adalah setiap manusia memiliki tabiat cinta terhadap harta kekayaan dan biasanya ia tidak akan pernah berhenti dari mengumpulkannya. Orang yang dijaga dan diberi taufik oleh Allah sajalah yang mampu membersihkan perangai buruk ini dari jiwanya. Tentu orang yang demikian itu sangat sedikit jumlahnya (Fathul Bari, 11/256). Penyataan ini selaras dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala,

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan siapa yang dipelihara/dihindarkan dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Qs. al-Hasyr: 9).

Pada hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

(يَكْبَرُ بن آدَمَ وَيَكْبَرُ معه اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ (متفق عليه

"Seseorang semakin bertambah banyak umurnya (menjadi tua), semakin besar pula kecintaannya kepada harta benda dan kepada umur panjang." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Bila demikian adanya, akankah orang yang telah tua renta, bungkuk punggungnya, dan lemah ototnya, akan dapat merasakan kebahagian hidup? Tentu tidak, karena jiwanya senantiasa terpanggang oleh panasnya gelora ambisi, sedangkan fisiknya tidak lagi kuasa untuk merealisasikannya.

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A


Catatan kaki:

(1) Ayat tersebut adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala berikut,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang beramal shaleh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. an-Nahl, 97).
Artikel Terkait