Pendahuluan
Segala puji hanya bagi Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah kepada qudwah dan panutan kita Nabi Muhammad Shallallaahu 'aliahi wa sallam, keluarga beliau dan para sahabat dan orang-orang yang sebabtiasa istiqamah dan iltijam di jalannya sampai akhir zaman.
Selanjutnya, permasalahan penentuan awal dan akhir Ramadhan/awal Syawwal setiap tahun menjadi bahan perbincangan dan polemik di kalangan mayoritas kaum Muslimin. Karena itulah dalam rangka menyambut bulan Ramadhan nan agung ini, sengaja redaksi mengangkat topik ini secara ringkas dan garis besarnya saja dengan harapan kaum Muslimin mendapat informasi yang benar dan akurat berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Penetapan dengan Ru'yah al-Hilal
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, artinya, "...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..." (QS. al-Baqarah; 185)
Dalam ayat di atas terkandung pengertian wajib untuk menunaikan puasa Ramadhan dari sejak awal sampai akhir bulan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
Pertama: Dengan Ru'yah al-Hilah, yaitu dengan cara melihat hilal bulan Ramadhan atau Syawal. Oleh karena itu, jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa. Jika ru'yah bulan Syawal telah ditetapkan, maka wajib tidak berpuasa (berbuka), baik dilihat sendiri maupun dilihat oleh orang lain dan beritanya itu memang benar. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: " Jangaanlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya..." (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.". (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).
Dengan dalil-dalil tersebut, maka tampak jelas bahwa Pembuat syari'at telah menggantungkan hukum masuknya bulan Ramadhan pada suatu hal yang tampak kasat mata oleh manusia, yang berjalan melintasi mereka tanpa kesulitan dan beban. Bahkan mereka dapat melihat bulan dengan mata mereka secara langsung. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan nilkmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Kedua: Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari
Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yah al-Hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..."
Cara melihat Hilal
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:
1. Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpilan orang yang banyak.
2. Ada yang berpendapat untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh orang muslim yang adil.
3. Juga ada yang berpendapat , untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
Adapun pendapat yang kuat adalah untuk menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerimana kesaksian ru'yatul hilal ini disyariatkan agar yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan dapat dipercaya beritanya atas amamat dan penglihatannya.
Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila).
Demikian juga kesaksian orang kafir, tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui, "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah Allah."
Dengan demikian, Rasulullah telah menyandarkan penerimaan kesaksian seseorang itu pada ke-Islamannya.
Sedangkan orang yang tidak dipercaya beritanya, karena sudah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan yang lemah, yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.
Hukum Mengamalkan Hisab
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya "...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..." (QS. al-Baqarah: 185)
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits " Berpuasalah kalian kearena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..." (HR. al-Bukhari dan Muslim, Lihat Shahih al-Bukhari, III/24 dan Shahih Muslim, III/122).
Kedua Nash di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru'yah atau penyempurnaan hitungan bulan Sya'ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari. Keduanya merupakan tanda yang jelas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari'at, dimana Allah menghilangkan kesulitan darinya. Maha benar Allah Yang Maha Agung.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "...Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. al-Hajj: 77)
Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dengan hisab, pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan suatu hal yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin Allah subhanahu wa ta'ala memberatkan para hamba-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.
Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma' maupun logika dalam hal tersebut.
1. Hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda, "Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya." (HR. al-Bukhari, III/24 dan Muslim, III/122)
2. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, " Sesungguhnya kami ini ummat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab ( tidak mengetahui ilmu perbintangan), jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya)." Yakni terkadang 29 dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari, III/25 dan Muslim, III/124)
Sedangkan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ...Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru'yah al-Hilal puasa, haji, iddah, atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi mengenai hal tersebut. Kaum Muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, dari sejak dulu kala..." (Majmu' al-Fatawa,Ibnu Taimiyah, XXV/132)
Adapun dalil logika, Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab secara keseluruhan telah sepakat bahwa tidak mungkin melihat hilal itu dengan hisab secara tepat, dimana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan pada beberapa tahun. (Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XXV/183)
Perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal)
Dan Pengaruhnya Pada Hukum Wajib (1 Ramadhan) Puasa dan Hari Raya.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya puasa jika hilal Ramadhan sudah terlihat di suatu negara, apakah dengan demikian, semua negara berkewajibab untuk mengerjakan puasa atau tidak, ataukah masing-masing negara harus melalukan ru'yah tersendiri? Demikian pula dengan penentuan 1 Syawal.
Dalam permasalahan ini, secara garis besar ada empat pendapat;
1. Jumhur Ulama, di antara mereka Imam Ahmad dan Abu Hanifah: Mengatakan bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum Muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa pada 1 Ramadhan atau berbuka pada 1 syawal.
Mereka berdalil:
a. Al-Qur’an, Surat al-Baqarah: 185
b. Sabda Rasulullah:
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122)
c. Hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)
d. Adapun hadits Kuraib yang ada di dalam Shahih Muslim, 3/126 mereka mengatakan bahwa yang demikian adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap hadits tersebut (HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122). Sementara pada dasarnya Khithab yang terdapat dalam hadits tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh kaum Muslimin bukan sebagian dari mereka
e. Sudah dapat dimaklumi bahwa yang dimaksud dalam dalil-dalil di atas bukanlah ru’yah setiap orang (di setiap daerah) karena yang demikian tentunya kadang-kadang terhalang oleh sesuatu, namun ru’yah siapa saja yang dapat menetapkan awal bulan Ramadhan atau syawal dan ini umum bagi seluruh tempat.
f. Pendapat yang pertama inilah yang pada asalnya dipilih oleh sebagian besar ulama’ antara lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam asy-Syaukani, Syaikh al-Albaniy, dan ulama’ lainnya (Lihat, Syarah al-Mumti’, 4/322 dan Fiqun Nawazil, Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid, 2/222-223; Majmu’ Fatawa, 25/105; Nailul Authar, 4/203-210; Silsilah ahl-Ahaduts ash-Shohihah, 4/235).
Dan inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada. Dan pendapat ini yang selaras dengan ka’idah umum syari’at yang menganjurkan kaum Muslimin agar bersatu dan tidak terpecah-pecah.
Namun masih tersisa pertanyaan, bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini ???
2. Kebanyakan ulama’ asy-Syafi’iyah, mengatakan setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Mereka beralasan bahwa subyek hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) bersifat nisbi (relatif).
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa perintah berpuasa dan berbuka diperuntukkan kepada orang yang mengetahui hilal di daerahnya sendiri, adapun bagi orang yang tidak mendapati hilal di daerahnya sendiri (negara), maka yang demikian tidak berlaku. Hal ini didasarkan atas dalil naql, dan akal secara perhitungan hisab.
3. Pendapat Ketiga, mengatakan apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negera lainnya, maka masing-masing negara memiliki ru’yah hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri sendiri. Dan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan ru’yah hilal tempat yang lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teretorial negara, sehingga di mana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negara yang berdekatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni, 4/328.
Namun demikian ulama’ yang berpendapat demikian berselesih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Dan ada yang mengatakan apabila berita terlihat hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga, dan pendapat lainnya.
Mereka berdalil:
a. Mereka juga berdalil dengan ayat yang sama sebagaimana yang dipakai dasar oleh pendapat yang pertama (QS. al-Baqarah: 185). Dan pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan ru’yahnya setiap orang, namun yang dimaksudkan adalah tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap tempat yang mathla’ hilalnya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilanya berbeda maka dalil ini tidak bisa dipakai patokan baik secara dhahir (hakekatnya) atau hukumnya.
b. Adapun hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) mengandung maksud bahwa setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya tidak sama dengan orang yang melihat hilal maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa tidak berlaku baginya.
c. Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu bulan seperti penentuan waktu hari, maka ketika suatu daerah tertentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam suatu hari maka pada saat itu juga wajib berbeda dalam saat berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya, dan pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak yang kain, dan dengan demikian barangsiapa yang tinggal di bagian timur maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di saerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.
Maka dalam kondisi yang demikian jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulanpun harus demikian.
Dan dalam masalah ini tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ayat yang mengatakan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa." (QS. 2:187) dan hadits Nabi yang menyatakan, ‘ …..Apabila matahari telah terbenam maka seorang yang berpuasa berbuka.” (Lihat, HR. al-Bukhari, no. 1954 dan Muslim, no. 1100) adalah umum untuk semua kaum Muslimin di mana saja dia berada. (Lihat, Fatawa U;ama a’=Balad al-Haram, hal. 285-286
d. Mereka juga berdalil denga hadits Kuraib, yang di utus oleh Ummu Fadhl binti al-Harits untuk menemui Mu’awiyah. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah al-Fadhl. Beretepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada-ku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat gilal? “Aku menjawab: “ Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi: “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku: “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata, “ Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “ Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yah hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan Ahmad dan Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih gharib.
e. Berkata Masyayikh (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan), “Dan pendapat inilah lebih kuat baik ditinjau dari sisi dhahir lafadz dalil-dalil yang ada, nadhar (ijtihad) yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu bulan terhadap waktu hari."
4. Pendapat Keempat, bahwa perkara yang demikian dikembalikan kepada waliul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan berdasarkan hisab semata –red-), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya. Dengan demikian kalau dipadati pemerintah suatu negara tertentu tidak berpatokan ketentuan syara’, maka pada kondisi yang demikian tidak boleh diikuti.
Dalil Mereka:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)
Setelah kami menyebutkan sekian pendapat yang ada, di mana masing-masing membawa dalil dan argumentasi tersendiri, maka berikut kami nukilkan Fatwa Lajnah Da’imah sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam di dalam kitabnya Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, hal. 134-135: Setelah para ulama’ menela’ah permasalahan yang ada, dan mereka melihat beberapa hal, di antaranya:
1. Bahwa perbedaan mathla’ merupakan perkara telah maklum diketahui baik secara perasaan maupun akal pikiran, dan tidak ada seorangpun yang berselisih dalam masalah ini, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada tidaknya pemberlakuan mathla’ menjadi patokan dalam hal ini.
2. Masalah perbedaan pemberlakuan mathla’ atau tidaknya, termasuk permasalahan perbedaan pandangan yang dengannya ada ijtihad, dan perselisihan dalam masalah ini tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Sehingga dalam permasalahan ini ulama’-pun berselisih pendapat atas dua pendapat besar (setelah disimpulkan), di antara mereka mengatakan yang menjadi patokan adalah perbedaan mathla’ (masing-masing negara memiliki mathla’ sendiri-sendiri) sementara yang lainnya tidak memandang demikian (mathla’ itu adalah satu)
Mereka menyimpulkan: “Semenjak 14 abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi persatuan ummat Islam dalam satu ru’yah (satu mathla’), maka mereka berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana adanya, dan semestinya masing-masing negara yang penduduknya maryolitas muslim berhak menentukan pilihan melalui para ulama’ mereka dari dua pendapat besar di atas yang menurutnya lebih sesuai karena setiap pendapat memiliki dalil dan sandarannya.
Akhirnya demikianlah yang dapat kami sampaikan sebagai pembahasan yang ringkas terhadap permasalahan yang ada, semoga bermanfa’at. Wallahu a’lamu bish shawab. [Husnul Yaqin]
Sumber: ash-Shiyam Ahkamun wa Adaabun" edisi bahasa Indonesia " Meraih Puasa Sempurna", Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayar, Pustaka Ibnu Katsir dan Majalah as-Sunnah Solo.
Segala puji hanya bagi Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah kepada qudwah dan panutan kita Nabi Muhammad Shallallaahu 'aliahi wa sallam, keluarga beliau dan para sahabat dan orang-orang yang sebabtiasa istiqamah dan iltijam di jalannya sampai akhir zaman.
Selanjutnya, permasalahan penentuan awal dan akhir Ramadhan/awal Syawwal setiap tahun menjadi bahan perbincangan dan polemik di kalangan mayoritas kaum Muslimin. Karena itulah dalam rangka menyambut bulan Ramadhan nan agung ini, sengaja redaksi mengangkat topik ini secara ringkas dan garis besarnya saja dengan harapan kaum Muslimin mendapat informasi yang benar dan akurat berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Penetapan dengan Ru'yah al-Hilal
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman, artinya, "...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..." (QS. al-Baqarah; 185)
Dalam ayat di atas terkandung pengertian wajib untuk menunaikan puasa Ramadhan dari sejak awal sampai akhir bulan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
Pertama: Dengan Ru'yah al-Hilah, yaitu dengan cara melihat hilal bulan Ramadhan atau Syawal. Oleh karena itu, jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa. Jika ru'yah bulan Syawal telah ditetapkan, maka wajib tidak berpuasa (berbuka), baik dilihat sendiri maupun dilihat oleh orang lain dan beritanya itu memang benar. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: " Jangaanlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya..." (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.". (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).
Dengan dalil-dalil tersebut, maka tampak jelas bahwa Pembuat syari'at telah menggantungkan hukum masuknya bulan Ramadhan pada suatu hal yang tampak kasat mata oleh manusia, yang berjalan melintasi mereka tanpa kesulitan dan beban. Bahkan mereka dapat melihat bulan dengan mata mereka secara langsung. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan nilkmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Kedua: Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari
Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yah al-Hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..."
Cara melihat Hilal
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:
1. Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpilan orang yang banyak.
2. Ada yang berpendapat untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh orang muslim yang adil.
3. Juga ada yang berpendapat , untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
Adapun pendapat yang kuat adalah untuk menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerimana kesaksian ru'yatul hilal ini disyariatkan agar yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan dapat dipercaya beritanya atas amamat dan penglihatannya.
Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila).
Demikian juga kesaksian orang kafir, tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui, "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah Allah."
Dengan demikian, Rasulullah telah menyandarkan penerimaan kesaksian seseorang itu pada ke-Islamannya.
Sedangkan orang yang tidak dipercaya beritanya, karena sudah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan yang lemah, yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.
Hukum Mengamalkan Hisab
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya "...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..." (QS. al-Baqarah: 185)
Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits " Berpuasalah kalian kearena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..." (HR. al-Bukhari dan Muslim, Lihat Shahih al-Bukhari, III/24 dan Shahih Muslim, III/122).
Kedua Nash di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru'yah atau penyempurnaan hitungan bulan Sya'ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari. Keduanya merupakan tanda yang jelas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari'at, dimana Allah menghilangkan kesulitan darinya. Maha benar Allah Yang Maha Agung.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "...Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS. al-Hajj: 77)
Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dengan hisab, pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan suatu hal yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin Allah subhanahu wa ta'ala memberatkan para hamba-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal tersebut.
Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma' maupun logika dalam hal tersebut.
1. Hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda, "Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya." (HR. al-Bukhari, III/24 dan Muslim, III/122)
2. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, " Sesungguhnya kami ini ummat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab ( tidak mengetahui ilmu perbintangan), jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya)." Yakni terkadang 29 dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari, III/25 dan Muslim, III/124)
Sedangkan dalil dari Ijma' adalah sebagai berikut:
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ...Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru'yah al-Hilal puasa, haji, iddah, atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi mengenai hal tersebut. Kaum Muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu, dari sejak dulu kala..." (Majmu' al-Fatawa,Ibnu Taimiyah, XXV/132)
Adapun dalil logika, Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab secara keseluruhan telah sepakat bahwa tidak mungkin melihat hilal itu dengan hisab secara tepat, dimana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan pada beberapa tahun. (Majmu' al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, XXV/183)
Perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal)
Dan Pengaruhnya Pada Hukum Wajib (1 Ramadhan) Puasa dan Hari Raya.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya puasa jika hilal Ramadhan sudah terlihat di suatu negara, apakah dengan demikian, semua negara berkewajibab untuk mengerjakan puasa atau tidak, ataukah masing-masing negara harus melalukan ru'yah tersendiri? Demikian pula dengan penentuan 1 Syawal.
Dalam permasalahan ini, secara garis besar ada empat pendapat;
1. Jumhur Ulama, di antara mereka Imam Ahmad dan Abu Hanifah: Mengatakan bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum Muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa pada 1 Ramadhan atau berbuka pada 1 syawal.
Mereka berdalil:
a. Al-Qur’an, Surat al-Baqarah: 185
b. Sabda Rasulullah:
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122)
c. Hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)
d. Adapun hadits Kuraib yang ada di dalam Shahih Muslim, 3/126 mereka mengatakan bahwa yang demikian adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap hadits tersebut (HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122). Sementara pada dasarnya Khithab yang terdapat dalam hadits tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh kaum Muslimin bukan sebagian dari mereka
e. Sudah dapat dimaklumi bahwa yang dimaksud dalam dalil-dalil di atas bukanlah ru’yah setiap orang (di setiap daerah) karena yang demikian tentunya kadang-kadang terhalang oleh sesuatu, namun ru’yah siapa saja yang dapat menetapkan awal bulan Ramadhan atau syawal dan ini umum bagi seluruh tempat.
f. Pendapat yang pertama inilah yang pada asalnya dipilih oleh sebagian besar ulama’ antara lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam asy-Syaukani, Syaikh al-Albaniy, dan ulama’ lainnya (Lihat, Syarah al-Mumti’, 4/322 dan Fiqun Nawazil, Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid, 2/222-223; Majmu’ Fatawa, 25/105; Nailul Authar, 4/203-210; Silsilah ahl-Ahaduts ash-Shohihah, 4/235).
Dan inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada. Dan pendapat ini yang selaras dengan ka’idah umum syari’at yang menganjurkan kaum Muslimin agar bersatu dan tidak terpecah-pecah.
Namun masih tersisa pertanyaan, bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini ???
2. Kebanyakan ulama’ asy-Syafi’iyah, mengatakan setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Mereka beralasan bahwa subyek hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) bersifat nisbi (relatif).
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa perintah berpuasa dan berbuka diperuntukkan kepada orang yang mengetahui hilal di daerahnya sendiri, adapun bagi orang yang tidak mendapati hilal di daerahnya sendiri (negara), maka yang demikian tidak berlaku. Hal ini didasarkan atas dalil naql, dan akal secara perhitungan hisab.
3. Pendapat Ketiga, mengatakan apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negera lainnya, maka masing-masing negara memiliki ru’yah hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri sendiri. Dan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan ru’yah hilal tempat yang lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teretorial negara, sehingga di mana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negara yang berdekatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni, 4/328.
Namun demikian ulama’ yang berpendapat demikian berselesih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Dan ada yang mengatakan apabila berita terlihat hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga, dan pendapat lainnya.
Mereka berdalil:
a. Mereka juga berdalil dengan ayat yang sama sebagaimana yang dipakai dasar oleh pendapat yang pertama (QS. al-Baqarah: 185). Dan pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan ru’yahnya setiap orang, namun yang dimaksudkan adalah tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap tempat yang mathla’ hilalnya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilanya berbeda maka dalil ini tidak bisa dipakai patokan baik secara dhahir (hakekatnya) atau hukumnya.
b. Adapun hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) mengandung maksud bahwa setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya tidak sama dengan orang yang melihat hilal maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa tidak berlaku baginya.
c. Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu bulan seperti penentuan waktu hari, maka ketika suatu daerah tertentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam suatu hari maka pada saat itu juga wajib berbeda dalam saat berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya, dan pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak yang kain, dan dengan demikian barangsiapa yang tinggal di bagian timur maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di saerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.
Maka dalam kondisi yang demikian jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulanpun harus demikian.
Dan dalam masalah ini tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ayat yang mengatakan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa." (QS. 2:187) dan hadits Nabi yang menyatakan, ‘ …..Apabila matahari telah terbenam maka seorang yang berpuasa berbuka.” (Lihat, HR. al-Bukhari, no. 1954 dan Muslim, no. 1100) adalah umum untuk semua kaum Muslimin di mana saja dia berada. (Lihat, Fatawa U;ama a’=Balad al-Haram, hal. 285-286
d. Mereka juga berdalil denga hadits Kuraib, yang di utus oleh Ummu Fadhl binti al-Harits untuk menemui Mu’awiyah. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah al-Fadhl. Beretepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada-ku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat gilal? “Aku menjawab: “ Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi: “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku: “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata, “ Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “ Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yah hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan Ahmad dan Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih gharib.
e. Berkata Masyayikh (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan), “Dan pendapat inilah lebih kuat baik ditinjau dari sisi dhahir lafadz dalil-dalil yang ada, nadhar (ijtihad) yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu bulan terhadap waktu hari."
4. Pendapat Keempat, bahwa perkara yang demikian dikembalikan kepada waliul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan berdasarkan hisab semata –red-), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya. Dengan demikian kalau dipadati pemerintah suatu negara tertentu tidak berpatokan ketentuan syara’, maka pada kondisi yang demikian tidak boleh diikuti.
Dalil Mereka:
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)
Setelah kami menyebutkan sekian pendapat yang ada, di mana masing-masing membawa dalil dan argumentasi tersendiri, maka berikut kami nukilkan Fatwa Lajnah Da’imah sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam di dalam kitabnya Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, hal. 134-135: Setelah para ulama’ menela’ah permasalahan yang ada, dan mereka melihat beberapa hal, di antaranya:
1. Bahwa perbedaan mathla’ merupakan perkara telah maklum diketahui baik secara perasaan maupun akal pikiran, dan tidak ada seorangpun yang berselisih dalam masalah ini, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada tidaknya pemberlakuan mathla’ menjadi patokan dalam hal ini.
2. Masalah perbedaan pemberlakuan mathla’ atau tidaknya, termasuk permasalahan perbedaan pandangan yang dengannya ada ijtihad, dan perselisihan dalam masalah ini tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Sehingga dalam permasalahan ini ulama’-pun berselisih pendapat atas dua pendapat besar (setelah disimpulkan), di antara mereka mengatakan yang menjadi patokan adalah perbedaan mathla’ (masing-masing negara memiliki mathla’ sendiri-sendiri) sementara yang lainnya tidak memandang demikian (mathla’ itu adalah satu)
Mereka menyimpulkan: “Semenjak 14 abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi persatuan ummat Islam dalam satu ru’yah (satu mathla’), maka mereka berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana adanya, dan semestinya masing-masing negara yang penduduknya maryolitas muslim berhak menentukan pilihan melalui para ulama’ mereka dari dua pendapat besar di atas yang menurutnya lebih sesuai karena setiap pendapat memiliki dalil dan sandarannya.
Akhirnya demikianlah yang dapat kami sampaikan sebagai pembahasan yang ringkas terhadap permasalahan yang ada, semoga bermanfa’at. Wallahu a’lamu bish shawab. [Husnul Yaqin]
Sumber: ash-Shiyam Ahkamun wa Adaabun" edisi bahasa Indonesia " Meraih Puasa Sempurna", Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayar, Pustaka Ibnu Katsir dan Majalah as-Sunnah Solo.
Artikel Terkait