Bila demikian adanya, tentu setiap orang dari kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta kita. Setiap kita pasti bertanya-tanya, bagaimanakah caranya agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?
Sebagaimana peranan keberkahan dalam hidup secara umum, dan dalam usaha serta penghasilan, telah banyak diulas dalam al-Qur'an dan Hadits, demikian juga persyaratan dan metode mendapatkannya. Berikut saya akan sebutkan beberapa persyaratan dan metode tersebut:
Kiat menggapai keberkahan: Iman kepada Allah.
Inilah syarat pertama dan terbesar agar rezeki kita diberkahi Allah, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ. الأعراف: 96
"Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. al-A'raf: 96).
Demikianlah imbalan Allah kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba-Nya. Dan sebaliknya, orang yang kufur dengan Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya ia tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang berkaitan dengan penghasilan ialah dengan senantiasa yakin dan menyadari bahwa rezeki apapun yang kita peroleh ialah atas karunia dan kemurahan Allah semata, bukan atas jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu karena Allah subhanahu wa ta'ala telah menentukan jatah rezeki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya. Disebutkan dalam suatu hadits,
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نطفة ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَبْعَثُ الله مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ له: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أو سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فيه الرُّوحُ متفق عليه
"Sesungguhnya salah seorang dari kamu disatukan penciptaannya di dalam kandungan ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama itu juga, kemudian Allah akan mengutus seorang malaikat, lalu malaikat itu diperintahkan dengan empat kalimat, dan dikatakan kepadanya, 'Tulislah amalannya, rezekinya, ajalnya dan apakah ia sengsara atau bahagia.' kemudian malaikat itu diperintahkan untuk meniupkan ruh padanya." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita dapatkan buktinya, setiap kali kita mendapatkan suatu keberhasilan, maka kita lupa daratan, dan merasa itu adalah hasil dari kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana kita menuduh alam sebagai dalangnya, dan kita melupakan Allah subhanahu wa ta'ala.
Ketika Aceh ditimpa musibah Tsunami, kita menuduh alam sebagai penyebabnya, yaitu dengan mengatakan itu karena akibat dari pergerakan atau benturan antara lempengan bumi ini dengan lempengan bumi itu dan seterusnya. Ketika musibah lumpur di Porong menimpa kita, kita ramai-ramai menuduh alam dengan mengatakan itu dampak dari gempa yang menimpa wilayah Jogjakarta dan sekitar. Ketika banjir melanda Jakarta, kita ramai-ramai menuduh alam, dengan berkata siklus alam, atau yang serupa.
Jarang di antara kita yang mengembalikan semua itu kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sebagai teguran atau cobaan atau mungkin juga sebagai adzab. Bahkan, orang yang berfikir demikian akan dituduh kolot, kampungan tidak ilmiah, atau malah dianggap sebagai teroris, dan seterusnya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah)." (Qs. ar-Rum: 41).
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: (هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟) قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. متفق عليه
"Dari sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani rashiallahu 'anhu ia menuturkan, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kita shalat Subuh di Hudaibiyyah dalam keadaan masih basah akibat hujan tadi malam. Seusai beliau shalat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berkata, 'Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?' Mereka menjawab, 'Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Allah berfirman, 'Ada sebagian dari hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan kafir. Adapun orang yang berkata, 'Kita telah dihujani atas karunia dan rahmat Allah, maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kufur dengan bintang.' Dan orang yang berkata, 'Kita dihujani atas pengaruh bintang ini dan itu, maka itulah orang yang kufur dengan-Ku dan beriman dengan bintang.'" (HR. Muttafaqun 'alaih).
Bila demikian adanya, maka mana mungkin Allah akan memberkahi kehidupan kita?! Bukankah pola pikir semacam ini adalah pola pikir yang menyebabkan Qarun diadzab dengan ditelan bumi?!
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ. القصص: 78
"Qarun berkata, 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.' Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya." (Qs. al-Qashas: 78).
Sebagaimana peranan keberkahan dalam hidup secara umum, dan dalam usaha serta penghasilan, telah banyak diulas dalam al-Qur'an dan Hadits, demikian juga persyaratan dan metode mendapatkannya. Berikut saya akan sebutkan beberapa persyaratan dan metode tersebut:
Kiat menggapai keberkahan: Iman kepada Allah.
Inilah syarat pertama dan terbesar agar rezeki kita diberkahi Allah, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ. الأعراف: 96
"Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. al-A'raf: 96).
Demikianlah imbalan Allah kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba-Nya. Dan sebaliknya, orang yang kufur dengan Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya ia tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang berkaitan dengan penghasilan ialah dengan senantiasa yakin dan menyadari bahwa rezeki apapun yang kita peroleh ialah atas karunia dan kemurahan Allah semata, bukan atas jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu karena Allah subhanahu wa ta'ala telah menentukan jatah rezeki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya. Disebutkan dalam suatu hadits,
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نطفة ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَبْعَثُ الله مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ له: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أو سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فيه الرُّوحُ متفق عليه
"Sesungguhnya salah seorang dari kamu disatukan penciptaannya di dalam kandungan ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama itu juga, kemudian Allah akan mengutus seorang malaikat, lalu malaikat itu diperintahkan dengan empat kalimat, dan dikatakan kepadanya, 'Tulislah amalannya, rezekinya, ajalnya dan apakah ia sengsara atau bahagia.' kemudian malaikat itu diperintahkan untuk meniupkan ruh padanya." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita dapatkan buktinya, setiap kali kita mendapatkan suatu keberhasilan, maka kita lupa daratan, dan merasa itu adalah hasil dari kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana kita menuduh alam sebagai dalangnya, dan kita melupakan Allah subhanahu wa ta'ala.
Ketika Aceh ditimpa musibah Tsunami, kita menuduh alam sebagai penyebabnya, yaitu dengan mengatakan itu karena akibat dari pergerakan atau benturan antara lempengan bumi ini dengan lempengan bumi itu dan seterusnya. Ketika musibah lumpur di Porong menimpa kita, kita ramai-ramai menuduh alam dengan mengatakan itu dampak dari gempa yang menimpa wilayah Jogjakarta dan sekitar. Ketika banjir melanda Jakarta, kita ramai-ramai menuduh alam, dengan berkata siklus alam, atau yang serupa.
Jarang di antara kita yang mengembalikan semua itu kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sebagai teguran atau cobaan atau mungkin juga sebagai adzab. Bahkan, orang yang berfikir demikian akan dituduh kolot, kampungan tidak ilmiah, atau malah dianggap sebagai teroris, dan seterusnya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah)." (Qs. ar-Rum: 41).
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: (هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟) قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. متفق عليه
"Dari sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani rashiallahu 'anhu ia menuturkan, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kita shalat Subuh di Hudaibiyyah dalam keadaan masih basah akibat hujan tadi malam. Seusai beliau shalat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berkata, 'Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?' Mereka menjawab, 'Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Allah berfirman, 'Ada sebagian dari hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan kafir. Adapun orang yang berkata, 'Kita telah dihujani atas karunia dan rahmat Allah, maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kufur dengan bintang.' Dan orang yang berkata, 'Kita dihujani atas pengaruh bintang ini dan itu, maka itulah orang yang kufur dengan-Ku dan beriman dengan bintang.'" (HR. Muttafaqun 'alaih).
Bila demikian adanya, maka mana mungkin Allah akan memberkahi kehidupan kita?! Bukankah pola pikir semacam ini adalah pola pikir yang menyebabkan Qarun diadzab dengan ditelan bumi?!
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ. القصص: 78
"Qarun berkata, 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.' Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya." (Qs. al-Qashas: 78).
Di antara perwujudan nyata iman kepada Allah dalam hal rezeki, ialah senantiasa menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها أن النبي صلّى الله عليه وسلّم كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فقال النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أَمَا إنه لو كان ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ). رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab Baduwi, lalu ia menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ketahuilah, seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen.), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian.'" (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban).
Pada hadits lain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إذا أتى أَهْلَهُ وقال: بِسْمِ اللَّهِ اللهم جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ ما رَزَقْتَنَا، فَرُزِقَا وَلَدًا، لم يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ. رواه البخاري
"Ketahuilah, bahwa salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata, 'Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami.', kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan." (HR. Bukhary).
Demikianlah peranan iman kepada Allah, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan dalam mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Sebaliknya, ingkar terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, dan beranggapan bahwa rezeki dan keberhasilan adalah hasil dari kecerdasan dan kerja keras kita, menjadi penyebab hancurnya segala kenikmatan.
Apa yang menimpa umat manusia sekarang ini, berupa krisis ekonomi global, merupakan bukti baru akan hal ini.
Beberapa waktu silam, umat manusia dibuat terpana oleh kehebatan dunia barat. Oleh karenanya, dunia barat oleh banyak umat Islam dinobatkan sebagai kiblat perekonomian.
Akan tetapi, krisis ekonomi global yang sedang diderita oleh umat manusia saat ini, dan yang bermula dari negara adidaya, yaitu Amerika menjadikan umat manusia kembali berpikir dan bertanya. Ada apa dan mengapa petaka dahsyat ini dapat menimpa negara-negara barat? Bukankah perekonomian mereka telah maju, teknologi mereka canggih, birokrasi mereka rapi dan pelaku ekonomi mereka handal nan cerdas?
Beribu-ribu tanda tanya dan rasa heran terus menghinggapi benak umat manusia saat ini.
Kejadian ini, kembali mengingatkan kita akan kisah yang pernah terukir dalam lembaran sejarah umat manusia. Kisah tersebut adalah kisah seorang pengusaha dan sekaligus pakar ekonomi ternama zaman dahulu. Ketokohan orang tersebut -menurut banyak orang- benar-benar fenomatis dan legendaris, sampai-sampai namanya diabadikan hingga zaman sekarang. Tokoh tersebut adalah Karun, konglomerat nomor satu yang hidup di zaman Nabi Musa 'alaihissalam.
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ. القصص: 76
"Sesungguhnya Karun adalah salah seorang kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kekayaan, yang kunci-kuncinya sungguh berat untuk dipikul oleh sejumlah orang yang gagah perkasa". (Qs. al-Qashash: 76).
Karun adalah ikon pengusaha sukses, cerdas nan kaya raya. Karun begitu sukses dan kaya, sampai-sampai kebanyakan orang mengimpi-impikan untuk mengikuti jejaknya, menjadi kaya raya. Betapa tidak, kekayaannya begitu melimpah ruah, sampai-sampai sejumlah orang yang gagah perkuasa merasa keberatan untuk memikul kunci-kunci gudangnya. Padahal, setiap gudang hanya memiliki satu pintu dan satu kunci, dan masing-masing kunci hanya sebesar jari manusia.
Menurut sebagian ulama ahli tafsir, kunci-kunci gudang Karun hanya bisa dibawa minimal oleh enam puluh keledai (Tafsir ath-Thabari, 20/106-107).
Bahkan hingga saat ini, banyak dari kita yang mendambakan untuk mendapatkan, walau hanya sedikit dari sisa-sisa harta peninggalannya; "harta karun".
قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. القصص: 79
"Orang-orang yang mendambakan kehidupan dunia berkata, 'Semoga kiranya kita mempunyai (kekayaan) seperti yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan keberuntungan yang besar.'" (Qs. al-Qashash: 79).
Karun merasa, bahwa ia berhasil dan sukses dalam perniagaannya karena kehebatan dan kecerdasannya sendiri. Oleh karena itu, tatkala ia ditegur dan dikatakan kepadanya,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ. القصص: 77
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. al-Qashash: 77).
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها أن النبي صلّى الله عليه وسلّم كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فقال النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أَمَا إنه لو كان ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ). رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab Baduwi, lalu ia menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ketahuilah, seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen.), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian.'" (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban).
Pada hadits lain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إذا أتى أَهْلَهُ وقال: بِسْمِ اللَّهِ اللهم جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ ما رَزَقْتَنَا، فَرُزِقَا وَلَدًا، لم يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ. رواه البخاري
"Ketahuilah, bahwa salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata, 'Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami.', kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan." (HR. Bukhary).
Demikianlah peranan iman kepada Allah, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan dalam mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Sebaliknya, ingkar terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, dan beranggapan bahwa rezeki dan keberhasilan adalah hasil dari kecerdasan dan kerja keras kita, menjadi penyebab hancurnya segala kenikmatan.
Apa yang menimpa umat manusia sekarang ini, berupa krisis ekonomi global, merupakan bukti baru akan hal ini.
Beberapa waktu silam, umat manusia dibuat terpana oleh kehebatan dunia barat. Oleh karenanya, dunia barat oleh banyak umat Islam dinobatkan sebagai kiblat perekonomian.
Akan tetapi, krisis ekonomi global yang sedang diderita oleh umat manusia saat ini, dan yang bermula dari negara adidaya, yaitu Amerika menjadikan umat manusia kembali berpikir dan bertanya. Ada apa dan mengapa petaka dahsyat ini dapat menimpa negara-negara barat? Bukankah perekonomian mereka telah maju, teknologi mereka canggih, birokrasi mereka rapi dan pelaku ekonomi mereka handal nan cerdas?
Beribu-ribu tanda tanya dan rasa heran terus menghinggapi benak umat manusia saat ini.
Kejadian ini, kembali mengingatkan kita akan kisah yang pernah terukir dalam lembaran sejarah umat manusia. Kisah tersebut adalah kisah seorang pengusaha dan sekaligus pakar ekonomi ternama zaman dahulu. Ketokohan orang tersebut -menurut banyak orang- benar-benar fenomatis dan legendaris, sampai-sampai namanya diabadikan hingga zaman sekarang. Tokoh tersebut adalah Karun, konglomerat nomor satu yang hidup di zaman Nabi Musa 'alaihissalam.
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ. القصص: 76
"Sesungguhnya Karun adalah salah seorang kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kekayaan, yang kunci-kuncinya sungguh berat untuk dipikul oleh sejumlah orang yang gagah perkasa". (Qs. al-Qashash: 76).
Karun adalah ikon pengusaha sukses, cerdas nan kaya raya. Karun begitu sukses dan kaya, sampai-sampai kebanyakan orang mengimpi-impikan untuk mengikuti jejaknya, menjadi kaya raya. Betapa tidak, kekayaannya begitu melimpah ruah, sampai-sampai sejumlah orang yang gagah perkuasa merasa keberatan untuk memikul kunci-kunci gudangnya. Padahal, setiap gudang hanya memiliki satu pintu dan satu kunci, dan masing-masing kunci hanya sebesar jari manusia.
Menurut sebagian ulama ahli tafsir, kunci-kunci gudang Karun hanya bisa dibawa minimal oleh enam puluh keledai (Tafsir ath-Thabari, 20/106-107).
Bahkan hingga saat ini, banyak dari kita yang mendambakan untuk mendapatkan, walau hanya sedikit dari sisa-sisa harta peninggalannya; "harta karun".
قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. القصص: 79
"Orang-orang yang mendambakan kehidupan dunia berkata, 'Semoga kiranya kita mempunyai (kekayaan) seperti yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan keberuntungan yang besar.'" (Qs. al-Qashash: 79).
Karun merasa, bahwa ia berhasil dan sukses dalam perniagaannya karena kehebatan dan kecerdasannya sendiri. Oleh karena itu, tatkala ia ditegur dan dikatakan kepadanya,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ. القصص: 77
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. al-Qashash: 77).
Demikianlah halnya dengan kehebatan dan keberhasilan dunia barat. Dunia barat merasa bahwa keberhasilan dan kemajuan mereka mulai berhasil dicapai, sejak mereka menjauhkan belenggu "agama" dari urusan dunia mereka. Akibatnya, mereka merasa bahwa keberhasilan dan kemajuan mereka berhasil dicapai berkat kecerdasan, pengalaman, dan kegigihan mereka sendiri, tanpa ada campur tangan sedikitpun dari Allah.
Tidak heran bila banyak dari umat Islam yang menyeru agar umat Islam napak tilas dengan dunia barat. Betapa banyak tokoh dan ilmuan muslim yang beranggapan, bahwa agama Islam telah menjadi penghalang kemajuan dan kejayaan umatnya. Tidak mengharankan bila paham sekuler laris manis dipelajari dan diajarkan di berbagai sekolahan yang ada di masyarakat Islam.
Di antara wujud nyata dari sikap napak tilas yang ada pada umat Islam ialah sikap banyak aktivis, bahkan tokoh agama untuk membelok-belokkan berbagai prinsip, dalil dan hukum Islam agar selaras dengan berbagai teori perekonomian barat. Semua ini demi mewujudkan impian menjadi negara maju dan makmur seperti yang terjadi di dunia barat.
Bila kita sedikit jujur saja, niscaya kita menyadari bahwa impian kita di atas serupa dengan impian masyarakat Karun kala itu. Kita beranggapan bahwa keberhasilan, kekayaan dan kemajuan pasti dapat digapai dengan pendidikan yang maju, kerja keras, dan sistem yang bagus. Kita akan mencibir setiap orang yang mengatakan bahwa iman dan amal shaleh merupakan faktor utama tercapainya keberhasilan, kejayaan, kedamaian dan kemajuan.
Kita semua lalai, bahkan banyak dari pakar ekonomi kita yang tidak percaya bahwa rezeki dan segala kenikmatan dunia adalah karunia dan nikmat dari Allah. Bahkan, banyak dari kita yang berusaha untuk melupakan, bahwa hanya Allah subhanahu wa ta'ala yang menurunkan dan mengatur segala urusan makhluk-Nya?!
Saudaraku, camkanlah firman Allah subhanahu wa ta'ala pada hadits qudsy berikut,
(يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاْسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُم عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ. (رواه مسلم
"Wahai hamba-hamba-Ku; kalian semua dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan, maka memohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan telanjang (tidak berpakaian), kecuali orang yang telah Aku karuniai pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengaruniaimu pakaian." (HR. Muslim).
(إِنَّ الله تَعَالَى هُوَ المُسَعِّرُ القَابِضُ البَاسِطُ الرَّازِقُ (رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah Ta'ala-lah Yang menentukan harga (menciptakan berbagai hal yang mempengaruhi harga-pen), Yang Menyempirkan dan melapangkan rezeki, serta Maha Pemberi Rezeki." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).
Demikianlah Karun -sang pencetus paham ekonomi ini- dengan kekayaannya yang berlimpah ruah, merasa telah berhasil mencapai kejayaan dan kemajuan. Akan tetapi tidak di duga-duga, pada saat itulah Allah Ta'ala menimpakan kemurkaan dan adzab-Nya,
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ المُنتَصِرِينَ
"Maka, Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan yang kuasa menolongnya dari adzab Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang kuasa menyelamatkan/memmbela (dirinya sendiri)." (Qs. al-Qashash: 81).
Demikianlah halnya bila kemurkaan dan adzab Allah subhanahu wa ta'ala telah datang dan menimpa kaum kafirin. Tiada yang kuasa menolak adzab agar tidak datang dan tiada yang mampu menolong setelah adzab tiba. Demikian pula apa yang kita rasakan sekarang, tatkala adzab Allah telah menimpa kaum sekuler para pemuja harta kekayaan, dengan dihancurkannya perekonomian mereka, tiada yang kuasa mencegah dan tiada yang berdaya menyelamatkan.
Ini semua sebagai bukti dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
( إِنَّ اللهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لمَ ْيُفْلِتْه . (قال ثم قرأ ) وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ( متفق عليه
"Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menunda orang yang berbuat kezhaliman, hingga bila telah datang saatnya Ia menimpakan adzab kepadanya, niscaya ia tidak dapat mengelak." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Dan demikianlah adzab Tuhanmu, apabila Dia menimpakan adzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Qs. Hud: 102)" (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Tidak heran bila banyak dari umat Islam yang menyeru agar umat Islam napak tilas dengan dunia barat. Betapa banyak tokoh dan ilmuan muslim yang beranggapan, bahwa agama Islam telah menjadi penghalang kemajuan dan kejayaan umatnya. Tidak mengharankan bila paham sekuler laris manis dipelajari dan diajarkan di berbagai sekolahan yang ada di masyarakat Islam.
Di antara wujud nyata dari sikap napak tilas yang ada pada umat Islam ialah sikap banyak aktivis, bahkan tokoh agama untuk membelok-belokkan berbagai prinsip, dalil dan hukum Islam agar selaras dengan berbagai teori perekonomian barat. Semua ini demi mewujudkan impian menjadi negara maju dan makmur seperti yang terjadi di dunia barat.
Bila kita sedikit jujur saja, niscaya kita menyadari bahwa impian kita di atas serupa dengan impian masyarakat Karun kala itu. Kita beranggapan bahwa keberhasilan, kekayaan dan kemajuan pasti dapat digapai dengan pendidikan yang maju, kerja keras, dan sistem yang bagus. Kita akan mencibir setiap orang yang mengatakan bahwa iman dan amal shaleh merupakan faktor utama tercapainya keberhasilan, kejayaan, kedamaian dan kemajuan.
Kita semua lalai, bahkan banyak dari pakar ekonomi kita yang tidak percaya bahwa rezeki dan segala kenikmatan dunia adalah karunia dan nikmat dari Allah. Bahkan, banyak dari kita yang berusaha untuk melupakan, bahwa hanya Allah subhanahu wa ta'ala yang menurunkan dan mengatur segala urusan makhluk-Nya?!
Saudaraku, camkanlah firman Allah subhanahu wa ta'ala pada hadits qudsy berikut,
(يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاْسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُم عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ. (رواه مسلم
"Wahai hamba-hamba-Ku; kalian semua dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan, maka memohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan telanjang (tidak berpakaian), kecuali orang yang telah Aku karuniai pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengaruniaimu pakaian." (HR. Muslim).
(إِنَّ الله تَعَالَى هُوَ المُسَعِّرُ القَابِضُ البَاسِطُ الرَّازِقُ (رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah Ta'ala-lah Yang menentukan harga (menciptakan berbagai hal yang mempengaruhi harga-pen), Yang Menyempirkan dan melapangkan rezeki, serta Maha Pemberi Rezeki." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).
Demikianlah Karun -sang pencetus paham ekonomi ini- dengan kekayaannya yang berlimpah ruah, merasa telah berhasil mencapai kejayaan dan kemajuan. Akan tetapi tidak di duga-duga, pada saat itulah Allah Ta'ala menimpakan kemurkaan dan adzab-Nya,
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ المُنتَصِرِينَ
"Maka, Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan yang kuasa menolongnya dari adzab Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang kuasa menyelamatkan/memmbela (dirinya sendiri)." (Qs. al-Qashash: 81).
Demikianlah halnya bila kemurkaan dan adzab Allah subhanahu wa ta'ala telah datang dan menimpa kaum kafirin. Tiada yang kuasa menolak adzab agar tidak datang dan tiada yang mampu menolong setelah adzab tiba. Demikian pula apa yang kita rasakan sekarang, tatkala adzab Allah telah menimpa kaum sekuler para pemuja harta kekayaan, dengan dihancurkannya perekonomian mereka, tiada yang kuasa mencegah dan tiada yang berdaya menyelamatkan.
Ini semua sebagai bukti dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
( إِنَّ اللهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لمَ ْيُفْلِتْه . (قال ثم قرأ ) وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ( متفق عليه
"Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menunda orang yang berbuat kezhaliman, hingga bila telah datang saatnya Ia menimpakan adzab kepadanya, niscaya ia tidak dapat mengelak." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Dan demikianlah adzab Tuhanmu, apabila Dia menimpakan adzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Qs. Hud: 102)" (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Saudaraku, tahukah Anda apa yang dikatakan oleh orang-orang mendambakan agar memiliki kekayaan dan keberhasilan seperti yang dicapai oleh Karun, di saat mereka menyaksikan adzab yang menimpa idola mereka? Mereka serentek mengakui bahwa kepandaian, kegigihan, dan kehebatan Karun tidaklah berguna. Rezeki, kebahagiaan, keselamatan, dan kesengsaraan adalah bagian dari ketentuan Allah yang berlaku pada makhluk-Nya. Oleh karen itu, mereka berkata,
وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلا أَن مَّنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
"Aduhai, benarlah (hanya) Allah-lah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalaulah Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, niscaya Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah tidak beruntuk orang-orang yang kufur (mengingkari nikmat Allah)." (Qs. al-Qashash: 82).
Saudaraku, coba bandingkanlah ucapan mereka di atas dengan keadaan kita pada saat ini. Kita semua ramai-ramai mengakui, bahwa tidak semua apa yang ada dan diterapkan oleh dunia barat layak untuk ditiru. Mungkin sekarang ini -dengan terpaksa- banyak dari pakar ekonomi yang mengakui, bahwa berbagai paham dan teori ekonomi yang mereka pelajari dari para pewaris Karun tidak dapat menyelamatkan dan memakmurkan dunia. Di berbagai mass media, kita dapatkan berbagai ulasan yang merinci berbagai kesalahan dan kebobrokan paham ekonomi yang dianut oleh dunia barat.
Saudaraku, tidakkah krisis ekonomi global ini cukup menjadi peringatan bagi kita untuk kembali kepada Syariat Allah?! Bukankah kita semua menyadari dan beriman, bahwa dunia berserta isinya adalah ciptaan Allah? Akan tetapi, mengapa kita tidak mengindahkan dan menerapkan aturan dan ketentuan yang telah Allah turunkan dalam memakmurkan dunia?!
Bukankah bila kita membeli suatu mesin dari suatu perusahaan, dengan sepenuhnya kita mematuhi tatacara pengoperasian dan perawatan yang mereka tentukan?! Akan tetapi, mengapa kita menyelisishi kebiasaan ini, tatkala kita hendak menggunakan dan merawat dunia yang merupakan ciptaan Allah?!
Saudaraku! Simaklah janji Allah subhanahu wa ta'ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya, Allah (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." (Qs. at-Thalaq: 2-3).
Pada ayat lain, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
(إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. (العنكبوت: 17
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan beribadah dan bersyukurlah kepada-Nya,. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (Qs. al-Ankabut: 17).
Janji Allah subhanahu wa ta'ala pada ayat kedua ayat ini bukan berarti bila kita telah shalat, puasa, dan berdzikir lalu akan segera turun hujan emas dan perak. Tidak demikian, ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya,
(لو أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ على اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً (رواه أحمد وغيره
"Andaikata engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan melimpahkan rezeki-Nya kepadamu, sebagaimana Allah melimpahkan rezeki kepada burung, yang (setiap) pagi pergi dalam keadaan lapar dan pada sore hari pulang ke sarangnya dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad dan lain-lain).
Demikianlah aplikasi ayat ini, umat Islam harus bekerja keras, berjuang dengan pantang menyerah. Gambaran tawakkal umat Islam adalah bagaikan seekor burung yang bekerja jeras pantang menyerah. Pada setiap pagi, setiap burung meninggalkan sarangnya menuju ke berbagai arah, guna mengais rezekinya, dan pada sore hari, masing-masing kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang.
Alangkah indahnya jiwa seorang mukmin yang mengamalkan ayat dan hadits di atas. Ia bekerja keras, pantang menyerah, dan pada saat yang sama, ia beriman bahwa rezekinya ada di Tangan Allah Ta'ala. Setiap usahanya senantiasa diiringi dengan iman, doa dan tawakkal, serta ditutup dengan rasa syukur. Semboyannya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْساْ لَنْ تَمُوَت حَتىَّ تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرَمَ
(رواه ابن ماجة وعبد الرزاق وابن حبان والحاكم وصححه الألباني)
"Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dishahihkan oleh al-Albani).
وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلا أَن مَّنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
"Aduhai, benarlah (hanya) Allah-lah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalaulah Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, niscaya Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah tidak beruntuk orang-orang yang kufur (mengingkari nikmat Allah)." (Qs. al-Qashash: 82).
Saudaraku, coba bandingkanlah ucapan mereka di atas dengan keadaan kita pada saat ini. Kita semua ramai-ramai mengakui, bahwa tidak semua apa yang ada dan diterapkan oleh dunia barat layak untuk ditiru. Mungkin sekarang ini -dengan terpaksa- banyak dari pakar ekonomi yang mengakui, bahwa berbagai paham dan teori ekonomi yang mereka pelajari dari para pewaris Karun tidak dapat menyelamatkan dan memakmurkan dunia. Di berbagai mass media, kita dapatkan berbagai ulasan yang merinci berbagai kesalahan dan kebobrokan paham ekonomi yang dianut oleh dunia barat.
Saudaraku, tidakkah krisis ekonomi global ini cukup menjadi peringatan bagi kita untuk kembali kepada Syariat Allah?! Bukankah kita semua menyadari dan beriman, bahwa dunia berserta isinya adalah ciptaan Allah? Akan tetapi, mengapa kita tidak mengindahkan dan menerapkan aturan dan ketentuan yang telah Allah turunkan dalam memakmurkan dunia?!
Bukankah bila kita membeli suatu mesin dari suatu perusahaan, dengan sepenuhnya kita mematuhi tatacara pengoperasian dan perawatan yang mereka tentukan?! Akan tetapi, mengapa kita menyelisishi kebiasaan ini, tatkala kita hendak menggunakan dan merawat dunia yang merupakan ciptaan Allah?!
Saudaraku! Simaklah janji Allah subhanahu wa ta'ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya, Allah (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." (Qs. at-Thalaq: 2-3).
Pada ayat lain, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
(إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. (العنكبوت: 17
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan beribadah dan bersyukurlah kepada-Nya,. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (Qs. al-Ankabut: 17).
Janji Allah subhanahu wa ta'ala pada ayat kedua ayat ini bukan berarti bila kita telah shalat, puasa, dan berdzikir lalu akan segera turun hujan emas dan perak. Tidak demikian, ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya,
(لو أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ على اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً (رواه أحمد وغيره
"Andaikata engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan melimpahkan rezeki-Nya kepadamu, sebagaimana Allah melimpahkan rezeki kepada burung, yang (setiap) pagi pergi dalam keadaan lapar dan pada sore hari pulang ke sarangnya dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad dan lain-lain).
Demikianlah aplikasi ayat ini, umat Islam harus bekerja keras, berjuang dengan pantang menyerah. Gambaran tawakkal umat Islam adalah bagaikan seekor burung yang bekerja jeras pantang menyerah. Pada setiap pagi, setiap burung meninggalkan sarangnya menuju ke berbagai arah, guna mengais rezekinya, dan pada sore hari, masing-masing kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang.
Alangkah indahnya jiwa seorang mukmin yang mengamalkan ayat dan hadits di atas. Ia bekerja keras, pantang menyerah, dan pada saat yang sama, ia beriman bahwa rezekinya ada di Tangan Allah Ta'ala. Setiap usahanya senantiasa diiringi dengan iman, doa dan tawakkal, serta ditutup dengan rasa syukur. Semboyannya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْساْ لَنْ تَمُوَت حَتىَّ تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرَمَ
(رواه ابن ماجة وعبد الرزاق وابن حبان والحاكم وصححه الألباني)
"Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dishahihkan oleh al-Albani).
Keindahan jiwa seorang mukmin akan semakin lengkap, di saat ia memperoleh karunia dari Allah berupa rezeki yang halal. Yang demikian itu, karena itu segera mensyukuri kenikmatan tersebut. Sehingga dengan syukur tersebut, kenikmatan Allah yang dikaruniakan kepadanya semakin bertambah dan melimpah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih." (Qs Ibrahim: 7).
Bukan hanya bersyukur, sebagai seorang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan hari akhir, ia akan menggunakan kenikmatan dalam jalan-jalan yang dibenarkan dan mendatangkan kebaikan. Kebaikan bagi dirinya, keluarga masyarakat dan agamanya.
(نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ. (رواه أحمد وصححه الألباني
"Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani).
Saudaraku! Ketahuilah, bahwa di antara wujud nyata dari iman kita kepada Allah Ta'ala ialah dengan senantiasa mengingat Allah Ta'ala setiap kali menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Orang yang benar-benar beriman akan senantiasa ingat Allah, lalu memuji-Nya setiap kali ia mendapatkan kenikmatan atau menyaksikan kenikmatan. Di antara bentuk pujian kepada Allah yang hendaknya kita ucapkan ketika menyaksikan kenikmatan ialah dengan mengucapkan
مَا شَاءَ الله
"Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud."
Allah Ta'ala menceritakan kisah seorang kaya raya yang memiliki ladang subur dan penuh dengan buah-buahan. Pada suatu hari, ia bersama sahabatnya masuk ke dalam ladangnya. Menyaksikan ladang yang begitu subur dan buah-buahannya yang beraneka ragam, ia berkata, "Aku kira ladangku ini tidak akan pernah punah, ditambah lagi, hari Kiamat yang engkau ceritakan kepadaku tidak akan pernah tiba. Dan andaipun Kiamat tiba, niscaya aku akan mendapatkan kehidupan yang bahagia." Mendengar ucapan ini, sahabat yang beriman tersebut menegurnya dengan berkata,
وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَدًا
"Dan mengapa tatkala memasuki kebunmu (dan terkagum karenanya), kamu tidak mengucapkan, ' Maasya Allahu, laa quwwata illa billah [sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah]'. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan." (Qs. al-Kahfi: 39).
Ibnu katsir berkata, "Sebagian ulama salaf menyatakan, 'Barangsiapa merasa takjub dengan diri, atau harta atau anaknya, hendaknya ia segera mengucapkan, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah'. Dan ayat ini merupakan dasar bagi perkataan ini.'”
Pendapat ini juga didukung oleh sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا أَنْعَمَ الله عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً مِنْ أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، فَيَقُولُ: مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، فَيَرَى فِيهِ آفَةً دُوْنَ الْمَوتِ. رواه أبو يعلى الموصلي بسند ضعيف
"Tidaklah Allah mengaruniakan kepada seorang hamba suatu kenikmatan, berupa anggota keluarga (istri), harta atau keturunan, lalu ia berkata, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah', kemudian kenikmatan itu dapat ditimpa petaka selain kematian." (HR. Abu Ya'la al-Mushily at-Thabrany, al-Baihaqy dan lainnya, dengan sanad yang lemah). Sanad Hadits ini lemah, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama di antaranya oleh as-Suyuthi, al-Munawi dan al-Albani.
Dan di antara bentuk pujian yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kita ucapkan ketika kita menyaksikan kenikmatan ialah bacaan doa keberkahan. Memohon kepada Allah agar harta dan kenikmatan yang telah dikaruniakan kepada kita senantiasa diberkahi. Dengan demikian, kenikmatan tersebut akan mendapat keberkahan sehingga langgeng dan tidak mudah sirna.
Pada suatu hari, sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhiallahu 'anhu melintasi sahabat Sahl bin Hanif radhiallahu 'anhu yang sedang mandi di rawa atau sungai, spontan sahabat 'Amir berkata, "Aku tidak pernah melihat kulit seputih ini, sampaipun kulit seorang gadis pingitan". Tak lama kemudian sahabat Sahl tersungkur tak berdaya. Maka kejadian itu segera disampaikan kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, dan dikatakan kepada beliau, "Segera selamatkan Sahl!" Maka, beliaupun bersabda, "Siapakah yang kalian curigai (telah mengenainya)?” Para sahabatpun menjawab, “'Amir bin Rabi'ah.” Rasulullahpun bersabda, “Dengan sebab apa salah seorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?! Bila ia melihat suatu hal pada diri saudaranya atau pada dirinya sendiri atau harta bendanya, yang membuatnya takjub, hendaknya ia memohonkan keberkahan. Yang demikian itu dikarenakan 'ain (pengaruh buruk pandangan mata-pen.) itu benar adanya." Lalu Beliau memerintahkan sahabat 'Amir untuk berwudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua sikunya, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya (atau bagian pinggang yang menjadi tempat menyimpulkan sarung-pen), kemudian beliau memerintahkan agar air bekas basuhan [Telah terbukti bahwa untuk mengobati orang yang terkena 'ain dapat juga dengan mengambil barang yang pernah digunakan oleh orang yang mengenainya, misalnya piring, atau gelas, atau sendok, atau pakaian yang pernah ia gunakan. Walaupun yang paling sempurna ialah dengan cara yang disebutkan pada kisah Sahl ini.] tersebut disiramkan kepada sahabat Sahl. Seusai disiram dengan air tersebut, sahabat Sahl meneruskan perjalanannya bersama rombongan, seakan-akan tidak pernah mengalami gangguan apapun (kisah ini diriwayat oleh Imam Ahmad, an-Nasa'i, at-Thabrany, al-Hakim dan lainnya, serta dishahihkan oleh al-Albani).
Perlu diketahui, bahwa kedua sahabat di atas, yaitu 'Amir bin Rabi'ah dan Sahl bin Hanif termasuk sahabat terkemuka Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan keduanya termasuk yang (memiliki -ed.) andil dalam peperangan Badr (silakan baca biografi kedua sahabat ini dalam kitab al-Ishabah Fi Tamyizis Shahabah oleh Ibnu Hajar 3/198 dan 579), sehingga anggapan bahwa sahabat 'Amir telah hasad atau menyimpan kedengkian terhadap Sahl bin Hanif tidak layak kita lakukan.
Yang layak untuk kita lakukan hanyalah berbaik sangka kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhillahu 'anhu telah lalai untuk memohonkan keberkahan bagi sahabat Sahl atas karunia Allah Ta'ala berupa kulit yang putih nan bersih.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Pengaruh 'ain dapat terjadi ketika seseorang merasa ta'ajub/ kagum walaupun tanpa disertai rasa hasad, walaupun dari orang yang menyayangi korbannya, walaupun dari orang shalih. Dan orang yang merasa kagum terhadap sesuatu hendaknya bersegera mendoakan keberkahan untuk orang/ sesuatu yang ia kagumi, dan doa keberkahan itu akan menjadi penawar pengaruh 'ain-nya." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 10/231, baca juga Bada'iul Fawaid oleh Ibnu Qayyim 2/457).
Ibnu Qayyim menjelaskan hubungan antara 'ain dan hasad adalah sebagai berikut, "Orang yang menimpakan 'ain dan orang hasad memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya; mereka berdua jiwanya terkondisi dan tertuju kepada orang yang diganggu. Orang yang menimpakan 'ain, jiwanya akan terkondisikan di saat berjumpa dan menyaksikan korbannya, sedangkan orang hasad, kehasadannya dapat terwujud baik korban ada dihadapannya atau tidak. Perbedaan antara keduanya; orang yang menimpakan 'ain dapat saja mengenai sesuatu yang ia tidak hasad kepadanya, misalnya, benda atau binatang, atau tanaman, atau harta, walaupun biasanya senantiasa disertai dengan sifat hasad pelakunya. Dan mungkin juga pengaruh matanya menimpa dirinya sendiri, karena pandangan matanya yang penuh rasa ta'ajub/ kagum dan tajam terhadap sesuatu, disertai jiwanya yang telah terkondisikan dengan keadaan kala itu, dapat mempengaruhi sesuatu yang ia pandang." (Bada'iul Fawaid, 2/456).
Demikianlah salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi bila kita lalai untuk memohonkan keberkahan kepada Allah, untuk kenikmatan yang ada pada saudara kita atau bahkan pada diri kita sendiri.
Bila Anda bertanya, “Bagaimanakah proses terjadinya pengaruh 'ain dapat terjadi?” Maka para ulama memiliki beberapa penafsiran dan jawaban atas pertanyaan ini, akan tetapi -menurut hemat saya- pendapat yang paling kuat ialah pendapat berikut: Bila seseorang ta'ajub terhadap suatu hal, sampai-sampai menyebabkannya lalai bahwa hal yang mengagumkan itu adalah karunia Allah. Maka, kadang kala Allah menimpakan petaka pada hal yang mengagumkan tersebut. Ini semua terjadi agar orang yang beriman kembali sadar, bahwa ini semua (sesuatu yang menakjubkan dan petaka yang menimpanya) terjadi atau kuasa Allah (Mirqatul Mafatih oleh Ali al-Qary, 14/14).
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih." (Qs Ibrahim: 7).
Bukan hanya bersyukur, sebagai seorang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan hari akhir, ia akan menggunakan kenikmatan dalam jalan-jalan yang dibenarkan dan mendatangkan kebaikan. Kebaikan bagi dirinya, keluarga masyarakat dan agamanya.
(نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ. (رواه أحمد وصححه الألباني
"Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani).
Saudaraku! Ketahuilah, bahwa di antara wujud nyata dari iman kita kepada Allah Ta'ala ialah dengan senantiasa mengingat Allah Ta'ala setiap kali menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Orang yang benar-benar beriman akan senantiasa ingat Allah, lalu memuji-Nya setiap kali ia mendapatkan kenikmatan atau menyaksikan kenikmatan. Di antara bentuk pujian kepada Allah yang hendaknya kita ucapkan ketika menyaksikan kenikmatan ialah dengan mengucapkan
مَا شَاءَ الله
"Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud."
Allah Ta'ala menceritakan kisah seorang kaya raya yang memiliki ladang subur dan penuh dengan buah-buahan. Pada suatu hari, ia bersama sahabatnya masuk ke dalam ladangnya. Menyaksikan ladang yang begitu subur dan buah-buahannya yang beraneka ragam, ia berkata, "Aku kira ladangku ini tidak akan pernah punah, ditambah lagi, hari Kiamat yang engkau ceritakan kepadaku tidak akan pernah tiba. Dan andaipun Kiamat tiba, niscaya aku akan mendapatkan kehidupan yang bahagia." Mendengar ucapan ini, sahabat yang beriman tersebut menegurnya dengan berkata,
وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَدًا
"Dan mengapa tatkala memasuki kebunmu (dan terkagum karenanya), kamu tidak mengucapkan, ' Maasya Allahu, laa quwwata illa billah [sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah]'. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan." (Qs. al-Kahfi: 39).
Ibnu katsir berkata, "Sebagian ulama salaf menyatakan, 'Barangsiapa merasa takjub dengan diri, atau harta atau anaknya, hendaknya ia segera mengucapkan, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah'. Dan ayat ini merupakan dasar bagi perkataan ini.'”
Pendapat ini juga didukung oleh sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا أَنْعَمَ الله عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً مِنْ أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، فَيَقُولُ: مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، فَيَرَى فِيهِ آفَةً دُوْنَ الْمَوتِ. رواه أبو يعلى الموصلي بسند ضعيف
"Tidaklah Allah mengaruniakan kepada seorang hamba suatu kenikmatan, berupa anggota keluarga (istri), harta atau keturunan, lalu ia berkata, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah', kemudian kenikmatan itu dapat ditimpa petaka selain kematian." (HR. Abu Ya'la al-Mushily at-Thabrany, al-Baihaqy dan lainnya, dengan sanad yang lemah). Sanad Hadits ini lemah, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama di antaranya oleh as-Suyuthi, al-Munawi dan al-Albani.
Dan di antara bentuk pujian yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kita ucapkan ketika kita menyaksikan kenikmatan ialah bacaan doa keberkahan. Memohon kepada Allah agar harta dan kenikmatan yang telah dikaruniakan kepada kita senantiasa diberkahi. Dengan demikian, kenikmatan tersebut akan mendapat keberkahan sehingga langgeng dan tidak mudah sirna.
Pada suatu hari, sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhiallahu 'anhu melintasi sahabat Sahl bin Hanif radhiallahu 'anhu yang sedang mandi di rawa atau sungai, spontan sahabat 'Amir berkata, "Aku tidak pernah melihat kulit seputih ini, sampaipun kulit seorang gadis pingitan". Tak lama kemudian sahabat Sahl tersungkur tak berdaya. Maka kejadian itu segera disampaikan kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam, dan dikatakan kepada beliau, "Segera selamatkan Sahl!" Maka, beliaupun bersabda, "Siapakah yang kalian curigai (telah mengenainya)?” Para sahabatpun menjawab, “'Amir bin Rabi'ah.” Rasulullahpun bersabda, “Dengan sebab apa salah seorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?! Bila ia melihat suatu hal pada diri saudaranya atau pada dirinya sendiri atau harta bendanya, yang membuatnya takjub, hendaknya ia memohonkan keberkahan. Yang demikian itu dikarenakan 'ain (pengaruh buruk pandangan mata-pen.) itu benar adanya." Lalu Beliau memerintahkan sahabat 'Amir untuk berwudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua sikunya, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya (atau bagian pinggang yang menjadi tempat menyimpulkan sarung-pen), kemudian beliau memerintahkan agar air bekas basuhan [Telah terbukti bahwa untuk mengobati orang yang terkena 'ain dapat juga dengan mengambil barang yang pernah digunakan oleh orang yang mengenainya, misalnya piring, atau gelas, atau sendok, atau pakaian yang pernah ia gunakan. Walaupun yang paling sempurna ialah dengan cara yang disebutkan pada kisah Sahl ini.] tersebut disiramkan kepada sahabat Sahl. Seusai disiram dengan air tersebut, sahabat Sahl meneruskan perjalanannya bersama rombongan, seakan-akan tidak pernah mengalami gangguan apapun (kisah ini diriwayat oleh Imam Ahmad, an-Nasa'i, at-Thabrany, al-Hakim dan lainnya, serta dishahihkan oleh al-Albani).
Perlu diketahui, bahwa kedua sahabat di atas, yaitu 'Amir bin Rabi'ah dan Sahl bin Hanif termasuk sahabat terkemuka Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan keduanya termasuk yang (memiliki -ed.) andil dalam peperangan Badr (silakan baca biografi kedua sahabat ini dalam kitab al-Ishabah Fi Tamyizis Shahabah oleh Ibnu Hajar 3/198 dan 579), sehingga anggapan bahwa sahabat 'Amir telah hasad atau menyimpan kedengkian terhadap Sahl bin Hanif tidak layak kita lakukan.
Yang layak untuk kita lakukan hanyalah berbaik sangka kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhillahu 'anhu telah lalai untuk memohonkan keberkahan bagi sahabat Sahl atas karunia Allah Ta'ala berupa kulit yang putih nan bersih.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Pengaruh 'ain dapat terjadi ketika seseorang merasa ta'ajub/ kagum walaupun tanpa disertai rasa hasad, walaupun dari orang yang menyayangi korbannya, walaupun dari orang shalih. Dan orang yang merasa kagum terhadap sesuatu hendaknya bersegera mendoakan keberkahan untuk orang/ sesuatu yang ia kagumi, dan doa keberkahan itu akan menjadi penawar pengaruh 'ain-nya." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 10/231, baca juga Bada'iul Fawaid oleh Ibnu Qayyim 2/457).
Ibnu Qayyim menjelaskan hubungan antara 'ain dan hasad adalah sebagai berikut, "Orang yang menimpakan 'ain dan orang hasad memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya; mereka berdua jiwanya terkondisi dan tertuju kepada orang yang diganggu. Orang yang menimpakan 'ain, jiwanya akan terkondisikan di saat berjumpa dan menyaksikan korbannya, sedangkan orang hasad, kehasadannya dapat terwujud baik korban ada dihadapannya atau tidak. Perbedaan antara keduanya; orang yang menimpakan 'ain dapat saja mengenai sesuatu yang ia tidak hasad kepadanya, misalnya, benda atau binatang, atau tanaman, atau harta, walaupun biasanya senantiasa disertai dengan sifat hasad pelakunya. Dan mungkin juga pengaruh matanya menimpa dirinya sendiri, karena pandangan matanya yang penuh rasa ta'ajub/ kagum dan tajam terhadap sesuatu, disertai jiwanya yang telah terkondisikan dengan keadaan kala itu, dapat mempengaruhi sesuatu yang ia pandang." (Bada'iul Fawaid, 2/456).
Demikianlah salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi bila kita lalai untuk memohonkan keberkahan kepada Allah, untuk kenikmatan yang ada pada saudara kita atau bahkan pada diri kita sendiri.
Bila Anda bertanya, “Bagaimanakah proses terjadinya pengaruh 'ain dapat terjadi?” Maka para ulama memiliki beberapa penafsiran dan jawaban atas pertanyaan ini, akan tetapi -menurut hemat saya- pendapat yang paling kuat ialah pendapat berikut: Bila seseorang ta'ajub terhadap suatu hal, sampai-sampai menyebabkannya lalai bahwa hal yang mengagumkan itu adalah karunia Allah. Maka, kadang kala Allah menimpakan petaka pada hal yang mengagumkan tersebut. Ini semua terjadi agar orang yang beriman kembali sadar, bahwa ini semua (sesuatu yang menakjubkan dan petaka yang menimpanya) terjadi atau kuasa Allah (Mirqatul Mafatih oleh Ali al-Qary, 14/14).
Agar kita semakin memahami betapa besarnya peranan doa keberkahan atas kenikmatan yang ada pada kita, maka saya mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
العَينُ حقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيءٌ سَابَقَ القَدَرَ، سَبَقَْهُ العَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلتم فَاغْسِلُوا. رواه مسلم
"(Pengaruh buruk) mata adalah benar adanya, dan seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya akan didahului oleh mata (al-'ain). Dan bila engkau diminta untuk membasuh diri, maka basuhlah." (HR. Muslim).
Pada hadits lain, dengan lebih tegas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pengaruh langsung dari pandangan orang tidak memohonkan keberkahan untuk kenikmatan yang ia saksikan,
(أَكْثَرُ مَنْ يَمُوتُ مِنْ أًُمَّتِي بَعْدَ كِتَابِ الله وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ بِالأَنْفُس ( يعني بالعين) (رواه البزار والطَّيالسي وابن أبي عاصم وحسنه الألباني
"Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku -setelah karena ketentuan dan takdir Allah- adalah akibat pengaruh jiwa." Maksudnya "pandangan mata." (HR. al-Bazzar, ath-Thayalisy, Ibnu Abi Ashim dan dihasankan oleh al-Albany).
Pada hadits lain Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda,
(العَيْنُ تُدْخِلُ الرَّجُلَ القَبْرَ وَالجَمَلَ القِدْرَ. (رواه ابن عدي وأبو نعيم وحسنه الألباني
"(Pengaruh) al-'ain (daapt) menyebabkan seseorang masuk ke dalam liang kuburannya dan unta ke dalam panci." (HR. Ibnu 'Adi, Abu Nuaim dan dihasankan oleh al-Albani).
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat anak-anak sahabat Ja'far bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuma yang berbadan kurus, maka beliau bertanya kepada ibu mereka yaitu Asma' bintu 'Umais radhiallahu 'anha,
(مَا لِي أَرَى أَجْسَامَ بَنِي أَخِي ضَارِعَةً، تُصِيبُهُمْ الْحَاجَةُ؟ قالت: لاَ، وَلَكِنْ الْعَيْنُ تُسْرِعُ إليه. قال: أرقيهم، قالت: فَعَرَضْتُ عليه، فقال أرقيهم.( رواه مسلم
"Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku (keponakanku) kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kekurangan/ kemiskinan?” Maka Asma' menjawab, “Tidak, akan tetapi (pengaruh mata) cepat sekali menimpa mereka?” Maka beliau bersabda, “Jampi-jampilah (ruqyahlah) mereka.” Asma' berkata, “Maka akupun memaparkan bacaan jampi-jampi kepadanya.” dan beliau bersabda, “Jampi-jampilah mereka (dengannya-pen.).” (HR. Muslim).
Dari beberapa hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa di antara kiat mewujudkan keberkahan dalam hidup kita adalah dengan berdoa kepada Allah Ta'ala memohon keberkahan, yaitu dengan mengucapkan
بَارَكَ اللهُ فِيهِ
"Semoga Allah memberkahinya", atau ucapan doa yang semakna dengannya. Dengan doa-doa semacam ini, -insya Allah- diri kita, keluarga, dan harta-benda kita akan mendapatkan keberkahan alias langgeng, dan terhindar dari petaka.
العَينُ حقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيءٌ سَابَقَ القَدَرَ، سَبَقَْهُ العَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلتم فَاغْسِلُوا. رواه مسلم
"(Pengaruh buruk) mata adalah benar adanya, dan seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya akan didahului oleh mata (al-'ain). Dan bila engkau diminta untuk membasuh diri, maka basuhlah." (HR. Muslim).
Pada hadits lain, dengan lebih tegas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pengaruh langsung dari pandangan orang tidak memohonkan keberkahan untuk kenikmatan yang ia saksikan,
(أَكْثَرُ مَنْ يَمُوتُ مِنْ أًُمَّتِي بَعْدَ كِتَابِ الله وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ بِالأَنْفُس ( يعني بالعين) (رواه البزار والطَّيالسي وابن أبي عاصم وحسنه الألباني
"Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku -setelah karena ketentuan dan takdir Allah- adalah akibat pengaruh jiwa." Maksudnya "pandangan mata." (HR. al-Bazzar, ath-Thayalisy, Ibnu Abi Ashim dan dihasankan oleh al-Albany).
Pada hadits lain Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda,
(العَيْنُ تُدْخِلُ الرَّجُلَ القَبْرَ وَالجَمَلَ القِدْرَ. (رواه ابن عدي وأبو نعيم وحسنه الألباني
"(Pengaruh) al-'ain (daapt) menyebabkan seseorang masuk ke dalam liang kuburannya dan unta ke dalam panci." (HR. Ibnu 'Adi, Abu Nuaim dan dihasankan oleh al-Albani).
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat anak-anak sahabat Ja'far bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuma yang berbadan kurus, maka beliau bertanya kepada ibu mereka yaitu Asma' bintu 'Umais radhiallahu 'anha,
(مَا لِي أَرَى أَجْسَامَ بَنِي أَخِي ضَارِعَةً، تُصِيبُهُمْ الْحَاجَةُ؟ قالت: لاَ، وَلَكِنْ الْعَيْنُ تُسْرِعُ إليه. قال: أرقيهم، قالت: فَعَرَضْتُ عليه، فقال أرقيهم.( رواه مسلم
"Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku (keponakanku) kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kekurangan/ kemiskinan?” Maka Asma' menjawab, “Tidak, akan tetapi (pengaruh mata) cepat sekali menimpa mereka?” Maka beliau bersabda, “Jampi-jampilah (ruqyahlah) mereka.” Asma' berkata, “Maka akupun memaparkan bacaan jampi-jampi kepadanya.” dan beliau bersabda, “Jampi-jampilah mereka (dengannya-pen.).” (HR. Muslim).
Dari beberapa hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa di antara kiat mewujudkan keberkahan dalam hidup kita adalah dengan berdoa kepada Allah Ta'ala memohon keberkahan, yaitu dengan mengucapkan
بَارَكَ اللهُ فِيهِ
"Semoga Allah memberkahinya", atau ucapan doa yang semakna dengannya. Dengan doa-doa semacam ini, -insya Allah- diri kita, keluarga, dan harta-benda kita akan mendapatkan keberkahan alias langgeng, dan terhindar dari petaka.
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A
Artikel Terkait