1. Dalil Disyariatkannya Tayammum
b. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Bahwasanya debu yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.” (Shahih: Shahih Abu Dawud no: 322, Tirmidzi I: 81 no: 124, Ma’bud I: 528 no: 329. dan Nasa’i I: 171 dengan lafadz yang mirip).
2. Sebab-Sebab Yang Membolehkan Tayammum
Dibolehkan bertayamun ketika tidak mampu menggunakan air, baik karena tidak ada air, atau karena dikhawatirkan semakin memburuknya kondisi badan yang sakit atau karena suhu dingin yang mencapai titik maksimum sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits di bawah ini:
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu. ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. dalam satu perjalanan, beliau shalat bersama para sahabat, ternyata, ada seorang sahabat yang mengucilkan diri (dari mereka). Maka kemudian beliau bertanya (kepadanya) ‘Apakah gerangan yang menghalangimu shalat (bersama kami)?’ Jawabnya, ‘Saya Junub dan tidak (ada) air.’ Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Hendaklah kamu (bertayammum) dengan debu karena sesunggahnya ia cukup bagimu." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 477 no: 344, Muslim I: 474 no: 682 dan Nasa’i I: 171).
Dari Jabir, berkata, “Kami keluar dalam satu perjalanan, lalu seseorang di antara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan rukhshah bagiku untuk bertayammum?’ Maka jawab mereka, ‘Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu, karena engkau mampu menggunakan air. ' Kemudian ia mandi besar sehingga meninggal dunia. Kemudian tatkala kami sampai ke hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., hal tersebut diinformasikan kepada beliau, maka beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya. Cukuplah baginya hanya dengan tayammum.” (Hasan: Shahih Abu Daud no: 326 dan ‘Aunul Ma’bud, I; 532 no: 332.) (Dalam riwayat Abu Daud ini ada Ziyadah mungkarah tambahan yang diriwayatkan rawi yang mungkar, yaitu, ‘Dan menahan atau membalut lukanya dengan kain perban, kemudian mengusap di atasnya dan menyiram sekujur tubuhnya. Dalam ‘Aunul Ma’bud 1:535. Syamsul Haq menegaskan “Riwayat yang menghimpun tayammum dengan mandi, hanyalah dinwayatkan oleh Zubair bin Khuraiq. Mengenai rawi ini, di samping ia tidak kuat hafalannya dalam meriwayatkan hadits. Juga berlawanan dengan semua rawi yang meriwayatkan dan Athal bin Abi Rabbah. Karena itu, riwayat yang memuat tayammum dan mandi sekaligus adalah riwayat yang dha’if yang tidak bisa, dijadikan acuan dalam menetapkan hukum.’ Selesai. Karena itu, perhatikan masalah mi sampai halaman selanjutnya)
Dan Amr bin Ash bahwa tatkala ia diutus (oleh Nabi ) dalam peperangan Dzatul Salasil, Ia bercerita. “Pada suatu malam yang dingin, yang suhunya mencapai titik maksimum saya ihtilam(bermimpi), lalu saya khawatir jika mandi saya akan celaka, maka tayammum lalu shalat shubuh dengan rekan-rekanku. Kemudian, tatkala, kami sampai kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada beliau lalu beliau bersabda. “Ya Amr, apakah engkau shalat bersama rekan-rekanmu dalam keadaan junub?” Maka saya jawab, “Aku ingat Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian). Kemudian aku bertayamum lalu shalat.” Maka Rasulullah saw. tersenyum dan tidak berkomentar sedikitpun (Shahih: ShahihAbu Dawud: no: 323, al-Fathu Rabbani II: 191 no:16, Aunul Ma’bud I: 530 no: 330 dan Mustadrakul Hakim I: 177).
3. Pengertian Shaid (Debu)
Dalam kamus Lisanul ‘Arab 111:254. Ibnul Manzhur menulis sebagai berikut. “Kata sha’id ( berarti tanah. Ada yang berpendapat ia adalah tanah yang baik ada pula yang mengatakan ia adalah setiap debu yang baik. Di dalam al-Qur’an ditegaskan, “fatayammamu sha’ii-dan thayyiban” Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih) .‘Abla Ishaq menyatakan, Sha’id ialah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah, dan ia tidak perlu ambil pusing apakah pada perrnukaan yang dimaksud terdapat debu ataupun tidak. Karena, shaid bukanlah debu. tetapi ia adalah di permukaan tanah baik berupa debu ataupun lainnya.’ Karena itu, seandainya suatu kawasan seluruhnya berupa padang batu yang tak berdebu kemudian orang yang akan tayammum rnenepukkan tangannya pada permukaan batu itu. maka yang demikian itu baginya sebagai media pembersih jika dia mengusap wajah dengan tepukan itu.” Selesai.
4. Sifat Tayammum/Cara Bertayammum
Dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu., berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air, kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat, setelah itu kusampaikan hal itu kepada Nabi, beliau kemudian bersabda, “Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (berbuat) begini” Yaitu Nabi menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalu Beliau mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangannya.“( Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I : 455 no : 347. Muslim I:280 no: 368’ Aunul Ma’bud I: 514 no: 317 dan Nasa’i I: 166).
Kesimpulan: Pada prinsipnya tayammum menduduki posisi wudhu’ maka dihalalkan dengan tayamum apa saja yang dihalalkan dengan wudhu’ dan boleh tayammum sebelum tibanya waktu shalat serta boleh mengerjakan shalat semampunya sebagaimana, boleh shalat dengan wudhu sebanyak raka’at yang dia mau.
5. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
Tayammum akan batal dengan apa-apa yang membatalkan wudhu. Tayammum juga batal karena ada air bagi yang bertayamum karena tidak ada air dan karena mampu menggunakan air bagi orang yang bertayamum tidak mampu menggunakan air. Sedangkan shalatnya yang sudah dikerjakan tetap sah tidak perlu mengulanginya.
Dan Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu., berkata, "Ada dua orang keluar melakukan safar lalu tibalah waktu shalat sementara keduanya tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan permukaan tanah yang bersih, lalu shalat. Kemudian pada waktu itu mereka berdua mendapatkan air. Kemudian seorang dan keduanya mengulangi wudhu’ dan shalat, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulanginya. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (shalatnya), “Engkau telah sesuai dengan sunnah(ku) dan shalatmu sudah cukup bagimu.” Dan kepada orang yang berwudhu’ dan yang mengulangi (shalatnya) beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (Shahih: Shahih Abi Daud 327, ‘Aunul Ma’bud I: 536 no: 334 dan Nasa’i I: 2 13).
Kesimpulan: Barangsiapa yang membalut lukanya dengan perban atau menambal tulangnya yang retak, maka gugurlah kewajiban membasuh anggota wudhu’ yang dibalut atau yang ditambal itu, dan ia tidak harus mengusap di atasnya bahkan ia tidak juga wajib bertayammum.
Dalil hal ini ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, “Allah tidak (pernah) memikulkan seseorang, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Apabila aku memerintahkan kalian (melakukan) sesuatu, maka kerjakanlah semampumu.” (Shahih: Mukhtshar Muslim no: 639. Muslim, II: 975 no: 1337. dan Nasa’i V: 110).
Dengan demikian gugurlah berdasar Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . segala sesuatu yang tidak bisa diemban atau berhak dilaksanakan seseorang. Sedangkan yang berhak menentukan pengganti dan mengusap di atas anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut atau ditampal hanyalah syara’, sementara syara’ menetapkan segala sesuatu hanya dengan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ., padahal keduanya tidak pernah menetapkan pengganti mengusap anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut dan tidak pula menetapkan obat sebagai pengganti membasuh anggota wudhu’ yang tidak mampu dibasuh, maka tertolaklah pendapat yang mengharuskan membasuh atau mengusapnya (al-Muhalla II: 74).
6. Boleh Tayammum Dengan Tembok
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu. berkata, “Saya sendiri dan Abdullah bin Yasar, bekas budak Maimunah, istri Nabi saw. pergi hingga kami sampai di (rumah) Abu Juhaim bi al-Harist bin ash-Shimah al-Anshari. Lalu Abu Juhaim mengatakan, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . datang dari arah Sumur Jamal, lalu Rasulullah bertemu dengan seorang sahabat, kemudian mengucapkan salam kepadanya. Namun Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . belum menjawabnya sebelum mendekat ke tembok, (setelah menepukkan kedua telapak tangannya pada tembok)”. Lalu beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya, kemudian menjawab salamnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:441 no:337, Muslim I:281 secara mu’allaq, ‘Aunul Ma’bud I:521 no:325 dan Nasai’i I:165).
(Baik yang terbuat dari tanah ataupun dari batu, dipolesi minyak ataupun tidak. Demikian menurut fatwa Syaikh kami al-Albani hafizhahullah dan beliau berkata, “Dan Allah tidak lupa.”)
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
a. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dan tempat buang air atau rnenyetubuhi wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
b. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Bahwasanya debu yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.” (Shahih: Shahih Abu Dawud no: 322, Tirmidzi I: 81 no: 124, Ma’bud I: 528 no: 329. dan Nasa’i I: 171 dengan lafadz yang mirip).
2. Sebab-Sebab Yang Membolehkan Tayammum
Dibolehkan bertayamun ketika tidak mampu menggunakan air, baik karena tidak ada air, atau karena dikhawatirkan semakin memburuknya kondisi badan yang sakit atau karena suhu dingin yang mencapai titik maksimum sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits di bawah ini:
Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu. ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. dalam satu perjalanan, beliau shalat bersama para sahabat, ternyata, ada seorang sahabat yang mengucilkan diri (dari mereka). Maka kemudian beliau bertanya (kepadanya) ‘Apakah gerangan yang menghalangimu shalat (bersama kami)?’ Jawabnya, ‘Saya Junub dan tidak (ada) air.’ Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Hendaklah kamu (bertayammum) dengan debu karena sesunggahnya ia cukup bagimu." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I: 477 no: 344, Muslim I: 474 no: 682 dan Nasa’i I: 171).
Dari Jabir, berkata, “Kami keluar dalam satu perjalanan, lalu seseorang di antara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapatkan rukhshah bagiku untuk bertayammum?’ Maka jawab mereka, ‘Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu, karena engkau mampu menggunakan air. ' Kemudian ia mandi besar sehingga meninggal dunia. Kemudian tatkala kami sampai ke hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., hal tersebut diinformasikan kepada beliau, maka beliau bersabda, “Mereka telah membunuhnya, maka Allah akan membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya. Cukuplah baginya hanya dengan tayammum.” (Hasan: Shahih Abu Daud no: 326 dan ‘Aunul Ma’bud, I; 532 no: 332.) (Dalam riwayat Abu Daud ini ada Ziyadah mungkarah tambahan yang diriwayatkan rawi yang mungkar, yaitu, ‘Dan menahan atau membalut lukanya dengan kain perban, kemudian mengusap di atasnya dan menyiram sekujur tubuhnya. Dalam ‘Aunul Ma’bud 1:535. Syamsul Haq menegaskan “Riwayat yang menghimpun tayammum dengan mandi, hanyalah dinwayatkan oleh Zubair bin Khuraiq. Mengenai rawi ini, di samping ia tidak kuat hafalannya dalam meriwayatkan hadits. Juga berlawanan dengan semua rawi yang meriwayatkan dan Athal bin Abi Rabbah. Karena itu, riwayat yang memuat tayammum dan mandi sekaligus adalah riwayat yang dha’if yang tidak bisa, dijadikan acuan dalam menetapkan hukum.’ Selesai. Karena itu, perhatikan masalah mi sampai halaman selanjutnya)
Dan Amr bin Ash bahwa tatkala ia diutus (oleh Nabi ) dalam peperangan Dzatul Salasil, Ia bercerita. “Pada suatu malam yang dingin, yang suhunya mencapai titik maksimum saya ihtilam(bermimpi), lalu saya khawatir jika mandi saya akan celaka, maka tayammum lalu shalat shubuh dengan rekan-rekanku. Kemudian, tatkala, kami sampai kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada beliau lalu beliau bersabda. “Ya Amr, apakah engkau shalat bersama rekan-rekanmu dalam keadaan junub?” Maka saya jawab, “Aku ingat Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian). Kemudian aku bertayamum lalu shalat.” Maka Rasulullah saw. tersenyum dan tidak berkomentar sedikitpun (Shahih: ShahihAbu Dawud: no: 323, al-Fathu Rabbani II: 191 no:16, Aunul Ma’bud I: 530 no: 330 dan Mustadrakul Hakim I: 177).
3. Pengertian Shaid (Debu)
Dalam kamus Lisanul ‘Arab 111:254. Ibnul Manzhur menulis sebagai berikut. “Kata sha’id ( berarti tanah. Ada yang berpendapat ia adalah tanah yang baik ada pula yang mengatakan ia adalah setiap debu yang baik. Di dalam al-Qur’an ditegaskan, “fatayammamu sha’ii-dan thayyiban” Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih) .‘Abla Ishaq menyatakan, Sha’id ialah permukaan tanah, maka orang yang hendak tayammum cukup menepukkan kedua tangannya pada permukaan tanah, dan ia tidak perlu ambil pusing apakah pada perrnukaan yang dimaksud terdapat debu ataupun tidak. Karena, shaid bukanlah debu. tetapi ia adalah di permukaan tanah baik berupa debu ataupun lainnya.’ Karena itu, seandainya suatu kawasan seluruhnya berupa padang batu yang tak berdebu kemudian orang yang akan tayammum rnenepukkan tangannya pada permukaan batu itu. maka yang demikian itu baginya sebagai media pembersih jika dia mengusap wajah dengan tepukan itu.” Selesai.
4. Sifat Tayammum/Cara Bertayammum
Dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu 'anhu., berkata, “(Pada suatu saat) aku junub, lalu tidak mendapatkan air, kemudian aku berguling-guling di atas permukaan tanah lalu shalat, setelah itu kusampaikan hal itu kepada Nabi, beliau kemudian bersabda, “Sebenarnya cukuplah bagimu hanya (berbuat) begini” Yaitu Nabi menepukkan kedua telapak tangannya pada permukaan tanah, kemudian meniup keduanya, lalu Beliau mengusapkan keduanya pada wajah dan kedua telapak tangannya.“( Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I : 455 no : 347. Muslim I:280 no: 368’ Aunul Ma’bud I: 514 no: 317 dan Nasa’i I: 166).
Kesimpulan: Pada prinsipnya tayammum menduduki posisi wudhu’ maka dihalalkan dengan tayamum apa saja yang dihalalkan dengan wudhu’ dan boleh tayammum sebelum tibanya waktu shalat serta boleh mengerjakan shalat semampunya sebagaimana, boleh shalat dengan wudhu sebanyak raka’at yang dia mau.
5. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
Tayammum akan batal dengan apa-apa yang membatalkan wudhu. Tayammum juga batal karena ada air bagi yang bertayamum karena tidak ada air dan karena mampu menggunakan air bagi orang yang bertayamum tidak mampu menggunakan air. Sedangkan shalatnya yang sudah dikerjakan tetap sah tidak perlu mengulanginya.
Dan Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu., berkata, "Ada dua orang keluar melakukan safar lalu tibalah waktu shalat sementara keduanya tidak membawa air, maka mereka bertayammum dengan permukaan tanah yang bersih, lalu shalat. Kemudian pada waktu itu mereka berdua mendapatkan air. Kemudian seorang dan keduanya mengulangi wudhu’ dan shalat, sedangkan yang satunya lagi tidak mengulanginya. Kemudian mereka berdua datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi (shalatnya), “Engkau telah sesuai dengan sunnah(ku) dan shalatmu sudah cukup bagimu.” Dan kepada orang yang berwudhu’ dan yang mengulangi (shalatnya) beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (Shahih: Shahih Abi Daud 327, ‘Aunul Ma’bud I: 536 no: 334 dan Nasa’i I: 2 13).
Kesimpulan: Barangsiapa yang membalut lukanya dengan perban atau menambal tulangnya yang retak, maka gugurlah kewajiban membasuh anggota wudhu’ yang dibalut atau yang ditambal itu, dan ia tidak harus mengusap di atasnya bahkan ia tidak juga wajib bertayammum.
Dalil hal ini ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, “Allah tidak (pernah) memikulkan seseorang, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Apabila aku memerintahkan kalian (melakukan) sesuatu, maka kerjakanlah semampumu.” (Shahih: Mukhtshar Muslim no: 639. Muslim, II: 975 no: 1337. dan Nasa’i V: 110).
Dengan demikian gugurlah berdasar Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . segala sesuatu yang tidak bisa diemban atau berhak dilaksanakan seseorang. Sedangkan yang berhak menentukan pengganti dan mengusap di atas anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut atau ditampal hanyalah syara’, sementara syara’ menetapkan segala sesuatu hanya dengan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ., padahal keduanya tidak pernah menetapkan pengganti mengusap anggota wudhu’ atau anggota tayammum yang dibalut dan tidak pula menetapkan obat sebagai pengganti membasuh anggota wudhu’ yang tidak mampu dibasuh, maka tertolaklah pendapat yang mengharuskan membasuh atau mengusapnya (al-Muhalla II: 74).
6. Boleh Tayammum Dengan Tembok
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu. berkata, “Saya sendiri dan Abdullah bin Yasar, bekas budak Maimunah, istri Nabi saw. pergi hingga kami sampai di (rumah) Abu Juhaim bi al-Harist bin ash-Shimah al-Anshari. Lalu Abu Juhaim mengatakan, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . datang dari arah Sumur Jamal, lalu Rasulullah bertemu dengan seorang sahabat, kemudian mengucapkan salam kepadanya. Namun Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . belum menjawabnya sebelum mendekat ke tembok, (setelah menepukkan kedua telapak tangannya pada tembok)”. Lalu beliau mengusap wajahnya dan kedua tangannya, kemudian menjawab salamnya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:441 no:337, Muslim I:281 secara mu’allaq, ‘Aunul Ma’bud I:521 no:325 dan Nasai’i I:165).
(Baik yang terbuat dari tanah ataupun dari batu, dipolesi minyak ataupun tidak. Demikian menurut fatwa Syaikh kami al-Albani hafizhahullah dan beliau berkata, “Dan Allah tidak lupa.”)
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
Artikel Terkait